BERANDA

Monday, September 25, 2017

Terjemahan kitab Qowaidul Fiqhiyyah




KITAB PERTAMA
Didalam lima qo’idah yang dituturkan oleh para sahabat yang mana sesungguhnya seluruh permasalahan fiqih kembali padanya. Yaitu :
1.      Al umuru bimaqoshidiha
2.      Al yaqinu laa yuzaalu bisysyaki
3.      Al masyaqqotu tajlibu at taysiro
4.      Ad dlororu yuzalu
5.      Al ‘adatu muhakkamatu

Qoidah Pertama : Al umuru bimaqoshidiha
Hukum asalnya qoidah yaitu beberapa hadits :
1.      Sabda Rosulullah SAW : Innama al a’malu binniyati. Adapun hadits tersebut shohih dan masyhur yang dikeluarkan oleh 6 Imam dan lainnya.
2.      Hadits Annas : Laa ‘amala liman laa niyata lahu
3.      Apa yang disanadkan oleh Asy Syihabi dari haditsnya :  adapun niatnya seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya
4.      Dari hadits Sa’id bin Abi Waqash : Sesungguhnya kamu tidak dii’tikadkan pada nafaqoh, sedangkan kamu mengharapkan dengannya bertemu dengan Allah kecuali diberi balasan didalam nafaqoh tersebut hingga kamu memberikannya kepada istrimu
5.      Dari hadits Abi Dzar : barang siapa yang berada pada tempat tidurnya dan berniat untuk bangun sholat malam maka orang tersebut mengalahkan matanya sehingga memasuki waktu subuh, maka dicatatlah niatnya tersebut
(zonk, help!)
Pembahasan para ulama’ mengenai niat
Pembahasan pertama : maksud niat

Maksud yang paling penting dari niat adalah :
1.        Membedakan ibadah dengan kebiasaan
2.        Membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lainnya
Misalnya :
Maksud yang pertama :
-            Duduk didalam masjid karena beristirahat atau karena beri’tikaf
-            Menahan diri dari makan karena diet atau berobat atau adanya niat lainnya
Maksud yang kedua :
-            Sholat, puasa, mandi, wudlu dan sebagainya ada yang karena kewajiban atau sunnah
-            Tayamum terkadang karena bersuci dari hadats atau bersuci dari junub adapun  tayamum menggambarkan salah satunya. Maka disyaratkan untuk berniat didalam menggambarkan yang lainnya karena untuk membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lainnya.

Dan kemudian diurutkan dengan perkara-perkara berikut :
1.        Tidak dipersyaratkan niat didalam ibadah yang tidak ada adat didalamnya ketika tidak menyerupai dengan yang lainnya, seperti beriman kepada Allaah dan ma’rifat dan khouf dan roja’ dan niat membaca Al Qur’an dan berdzikir. Kecuali jika dilakukan karena adanya nadzar.
Adapun perbuatan yang ditinggalkan seperti meninggalkan riya’ menjauhi maksiat dan yang lainnya maka tidak dibebankan niat karena hasilnya maksud dari perbuatan-perbuatan tersebut.
Adapun menghilangkan najis,  memandikan mayat, keluar dari sholat dan perkara-perkara yang menyerupai hal tersebut, sesungguhnya dala persyaratan niatnya masih dalam perdebatan, adapun menurut qoul yang lebih shohih didalamnya tidak dipersyaratkan niat.

2.        Dipersyaratkan ta’yin didalam perkara yang menyerupai perkara yang lainnya. Dalil yang menunjukkan hal tersbut adalah hadits rosulullah SAW : “Sesungguhnya bagi setiap perkara pada niatnya”dan demikianlah dipersyaratkan ta’yin didalam ibadah fardlu, seperti niat sholat dzuhur atau ashar, dan didalam sholat sunnah ghoiru mutlaq seperti rowatib, maka nyatakanlah sholat rowatib itu dengan bersandarkan pada sholat dzuhur misalnya, qobliyah ataupun ba’diyahnya, adapun inilah yang dikatakan “perkara yang menyerupai”, seperti bersuci, haji dan umroh, dan lainya. Sesungguhnya hal itu tidak dipersyaratkan ta’yin, karena sesungguhnya penentuan yang lainnya dipertukarkan dengan yang lain, itulah yang dikatakan “perkara lainnya”.
Telah keluar sebagian qo’idah :
1.         Perkara yang tidak dipersyaratkan didalamnya ta’yin secara global maupun terperinci, ketika salah menentukannya, tidak berbahaya, misalnya menentukan tempat sholat dan waktunya
2.         Perkara yang dipersyaratkan ta’yin didalamnya dan salah maka batal, seperti kesalahan dari puasa ke sholat
3.         Perkara yang dipersyaratkan ta’ridl (jelas) secara global tidak secara terperinci ketika salah menentukan maka berbahaya. Berikut inilah cabang pembahasannya :
-          Niat puasa pada hari selasa dimalam senin, maka tidak sah
-          Ditetapkan mengqodlo puasa hari pertama bulan romadlon kemudian niat mengqodlo puasa hari kedua bulan romadlon, maka tidak diterima hal yang demikian menurut kaum yang lebih shohih.
Dan dikecualikan dari yang telah dijelaskan di atas, yaitu :
Berniat menghilangkan hadas karena tidur, padahal hadasnya bukan karena tidur atau niat menghilangkan hadas karena jinabat jima’ dan keluar mani, lalu dia salah, maka tidak membahayakan dan wudhu serta mandinya tetap sah. Jika seseorang yang berhadas berniat menghilangkan hadas besar dan lupa maka sah wudhunya seperti yang telah dijelaskan dalam syarhul madzhab. Apabila menyatakan tentang sholat yang keluar darinya (sholat) – atas orang yang mengatakan itu wajib – kemudian salah maka tidak berbahaya tapi harus melakukan sujud sahwi dan salam dua kali.
“PERINGATAN”
Tidak berbahaya salah dalam keyakinan, bukan dalam ta’yin seperti apabila orang berniat di malam senin ingin puasa besok, tp dia berpikir bahwa dbesok adalah hari selasa maka puasanya sah.
Disyaratkan menyatakan kepada ibadah fardhiyyah dan menentukannya. Bahwa ibadah yang disyaratkan menyatakan ada 3 macam :
1)   Sesuatu yang disyaratkan di dalamnya tanpa ada perbedaan pendapat, yaitu kifarot.
2)   Sesuatu yang tidak disyaratkan di dalamnya tanpa ada perbedaan pendapat, yaitu haji, umroh, dan jama’ah.
3)   Sesuatu yang disyaratkan di dalamnya menurut qoul yang lebih shohih, yaitu sholat, mandi, zakat dengan lafadz, dan khitbah.
Disyaratkan menjelaskan adha’ atau qodho di dalam sholat itu ada 4 pendapat :
1)   Disyaratkan keduanya, karena melaksanakan fardhu yang tepat di waktunya berbeda dengan fardhu yang menyusuli sholat yang sudah lewat.
2)   Disyaratkan niat qodho tanpa adha’ karena fardhu yang adha’ itu dibatasi dengan waktu.
3)   Disyaratkan niat adha’ dalam ibadah yang mu’adda’ (yang bersifat adha’) jika orang tersebut adalah orang yang kepotan sholat,
4)   Tidak disyaratkan meniatkan adha’ ataupun qodho dan itu sah.
Adapun ibadah yang tidak disifati dengan adha’ ataupun qodho dan perkara yang memiliki waktu yang terbatas tetapi tidak menerima qodho seperti sholat jum’at maka ibadah-ibadah tersebut tidak membutuhkan niat adha’ atau qodho.
3.        Ikhlas. Maka tidak sah niat yang disertai persekutuan.
Perkataan ulama tentang ikhlas :
1)   Menurut sebagian ulama : ikhlas sendiri adalah niat.
2)   Menurut imam Ghozali ikhlas adalah syarat sah niat.

Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah, yakni :
Untuk membedakan antara ibadah dan perbuatn biasa, misal : antara mandi biasa yang setiap hari kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub. Yang membedakannya adalah niat.
Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Niat sajalah yang mebedakan antara mandi untuk menghindari jum’atan dengan mandi karena akan ihram. Kaidah ini bersumber dari hadits yang terkenal: انّما الأعمل بالنيات “Segala perbuatan itu hanyalah dengan niat”.
Menurut Ulama ahli Tahqiq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqih telah tercakup dalam hadits ini.
Sebab pebuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yakni : dengan hati, ucapan, tindakan. Imam Shuyuti telah membagi tentang menyekutukan niat kedalam beberapa bagian :
1.    Seseorang menyatukan dua niat yang berbeda, niat yang pertama adalah untuk ibadah sedangkan yang kedua niat untuk selain ibadah.
Contoh: seseorang menyembelih hewan dengan niat karna Allah dan disertai niat karna selain Allah, maka hewan qurban tersebut dihukumi haram.
2.    Menyatukan niat ibadah fardu dengan ibadah sunnah.
Dalam kitab qawaid fiqhiyyah terbagi dalam 3 bagian :
a.       Perkara/ibadah yang tidak ada hukum di dalamnya (kedua ibadahnya dihukumi batal). Contoh : membarengi shalat fardu dengan shalat tahiyatul masjid.
b.      Perkara/ibadah yang menghasilkan ibadah fardu saja. Contoh : membarengi shalat ﻓﻭﺍﺌﺖ  di malam bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih.
c.       Perkara/ibadah yang menghasilkan ibadah yang sunnah saja. Contoh : seseorang mengeluarkan uang 5 dirham dengan niat untuk zakat (bukan pada waktu berzakat) dan shadaqah, maka yang sah adalah niat untuk bershadaqah.
3.    Menyatukan niat ibadah fardu dengan ibadah fardu lainnya tidak di bolehkan kecuali 2 perkara : Haji dan umroh Mandi dan wudlu.
4.    Menyatukan dua niat, dengan niat yang pertama ialah untuk ibadah sunnah dan yang kedua juga niat untuk ibadah sunnah lainnya, mutlak tidak diperbolehkan. Misalnya shalat sunnah Duha dengan (qada) shalat sunnah fajar.

Pembahasan kedua : waktu niat
Asal waktu niat itu diawal pekerjaan ibadah atau lainya ibadah seperti takbiratul ikhram dalam sholat, membasuh wajah dalam wudhu atau selain wudhu, menyindir dalam talak dan niat mengecualikan didalam sumpah.  Dan keluar dari hal itu, boleh dan sah mendahulukan niat sebelum melakukan ibadah beberapa contoh :
1.      Puasa boleh mendahulukan niat di awal waktu, tetapi tetap wajib untuk niat. Jika seseorang niat puasa bersama naiknya fajar maka tidak sah.
2.      Zakat sah dahulukan niat sebelum menyerahkan kepada fakir miskin karena kesukaran.
3.      Niat menjamak sholat, maka jika niat di awal dan tidak tampak, boleh niat di tengah-tengah.
4.      Niat menyembelih kurban itu boleh di niat diawal dan tidak wajib menyembelih berbarengan dengan niat.

Pembahasan ketiga : tempat niat
Asal tempat niat itu di hati. Karena hakikat nianya niat itu mutlak dan  itu berhubungan dengan pekerjaan. Dan hasil dari itu ada dua :
1.      Sesungguhnya kelakuan itu tidak cukup melafadhkan dengan lisan tanpa niat di hati. cabang dari hal itu, misalkan apa yang diucapkan oleh  lisan berbeda dengan apa yang diniatkan di hati, yang dikira ialah apa yang diniatkan dalam hati. Jika seseorang niat dalam hati sholat dzuhur sedangkan di lisan sholat ashar, yang dikira  adalah apa yang niatkan bukan di lafadzkan. Misal sesorang niat wudhu dalam hati tapi di lisan untuk menyejukan tubuh maka wudhunya sah. Dan jika terkeluar dari mulut lafadz sumpah tanpa ada niat maka tidak  ada perjanjian dan tidak ada tanggungan kafarot.
2.      Tidak diisyaratkan  melafadzkan dengan apa yang diiniatkan yaitu :
·           Jika seseorang yang membersihkan tanah, niat untuk menjadikan masjid maka akan jadi masjid dengan niat tersebut
·           Sesorang yang bersumpah tidak akan memberi salam kepada zayd kemudian memberi salam dalam masjidyang ada zayd dan ia berniat mengecualikanya dari zayd maka tidak akan dikenakan kaffarah.
Dikecualikan dari persoalan berkaitan lafadz beberapa masalah yaitu disayaratkan melafadzkan apa yang diniatkan :
1.         Jika niat nadzhar atau talak dengan hati dan tidak melafadzkan, tidak berlaku nadzhar dan tidak dikira sebagai nadzar.
2.         Jika membeli kambing dengan niat menjadikan sebagai korban tidak dianggap sebagai binatang korban kecuali setelah dilafadzkan.
3.         Jika seseorang niat berbuat maksiat dan tidak melakukanya  atau tidak melafadzkanya maka tidak dosa.
Pembahasn keempat : Syarat-syarat niat
Syarat-syarat niat :
1.    Islam, maka tidak sah ibadah orang kafir, kecuali :
a.    Perempuan kafir kitabi, sah mandi wajibnya perempuan kafir kitabi dari haid sehingga halal untuk melakukan hubungan intim.
b.    Niat membayar dendanya orang kafir
c.    Zakatnya orang yang keluar dari islam sesaat sebelum keluar dari islam.
2.    Tamyiz. Maka tidak sah jika anak-anak dan orang gila. Kecuali :
a.    Anak kecil yang diniatkan orang tuanya untuk berihram
b.    Orang gila yang diniatkan suaminya untuk mandi wajib dari haid maka sah niatnya
3.    Mengerti apa yang diniati. Maka tidak sah ibadah seseorang jika dia tidak mengetahui fardu nya wudlu dan sholat misalnya.
4.    Tidak adanya perkara yang meniadakan niat.
Adapun perkara yang meniadakan niat :
a.    Terputusnya niat
Contoh :
-       Apabila ada seseorang di tengah tengah sholat dalam hatunya niat memutus sholat, meskipun tidak ada gerakan yang membatalkan sholat maka sholat batal
-       Apabila ada seseorang niat memutuskan jamaah maka jamaahnya tidak sah tapi sholatnya sah.
Kecuali
-       Apabila ada seseorang yang niat memutuskan puasa tapi tidak makan dan tidak minum maka puasanya tidak batal.
-       Apabila ada orang yang niat jima dalam keadaan puasa, tetapi dia tidak melakukannya maka puasanya tidak batal.
b.    Tidak ada kemampuan terhadap yang diniati.
Contoh :
-       Seseorang dengan wudlunya berniat untuk melakukan sholat dan tidak melakukan sholat dalam satu waktu maka tidak sah wudlunya.
-       Seseorang yang dengan wudlunya berniat melakukan solat ditempat yang najis maka menurut Imam Nawawi dalam syarah muhadhab sebaiknya wudlunya tidak sah.
-       Seseorang berniat dengan wudlunya melakukan sholat di Makkah tetapi dia sholat di jawa maka tidak sah wudlunya.
c.    Bingung atau tidak adanya kemantapan.
Contoh :
-        Apabila ada orang ragu-ragu apakah membatalkan sholatnya atau tidak ataupun menggantungkan membatalkan sjolat dengan sesuatu maka eketika itu batal sholatnya. Misalnya : kalau nanti Hujan maka saya batalkan sholat.
-       Ragu apakah dia akan mengqoshor sholat atau tidak maka tidak mengqhoshor.
Dari contoh diatas dapat dipahami bahwa seseatu yang diragukan maka diambil hukum yang ragu dan itu tidak sah. Akan tetapi ada bentuk yang sah ketika hal tersebut dalam keragu-raguan.
Contoh :
-       Ketika dia punya tanggungan sholat qodlo, kemudian dia lupa sholat yang harus dia qodlo itu apa dan dia melakukan sholat semuanya maka sah sholatnya.
-       Ketika dia puasa wajib tapi dia tidak mengetahui apakah dia puasa ramadhan ataukah puasa membayar kafarat maka puasanya tetap sah.

“Catatan”
1.      Apakah niat termasuk rukun atau syarat dalam ibadah, hal ini ada beberapa jawaban
-       Sebagian besarmemilih bahwasanya niat itu termasuk rukun karena niat masuk dalam ibadah
-       Abu Thoyyib ibnu Shobag berpendapat bahwa niat termasuk syarat kecuali untuk memisahkan kepada niat yang lain
-       Menurut 2 syaikh bahwasannya dalam sholat niat termasuk rukun sedangkan dalam puasa niat termasuk syarat.
2.      Niat diberlakukan seperti syarat dalam maslaah yaitu sesuatu ketika seorang ragu setelah sholat dalam meninggalkan bersuci maka waib mengulang.
3.      MenurutAr-Rafi’I dan pengikutnya dalam kitab Raudhoh, niat dalam sumpah bias mengkhususkan lafadz yang umumtetapi tidak bias mengkhususkan lafadz yang khusus
4.      Menurut Suyuthi dalam kitab asybah wannadhoir, tujuan sebuah ucapan itu dikembalikan kepada niatnya orang yang mengucapkan. Kecuali sumpah dihadapan hakim, maka digantungkan pada niatnya hakim, bukan pada niatnya orang yang melakukan sumpah.
5.      Kefardhuan itu kadang-kadang bias terlaksana pekerajaannya dengan niat kesunatan
-       Apabila ada orang bertasyahud akhir dengan dugaan bahwa yang dilakukan adalah tasayahud awal, kemudian baru ingat di akhir, maka tasyahud akhirnya hukumnya sah

Kaidah Kedua : Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Oleh Keraguan
Kaidah tersebut disusun berdasarkan hadits Nabi SAW., antara lain:
1.      Apabila seseorang dari kamu mendapatkan sesuatu dalam perutnya, kemudian sangsi apakah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (HR. muslim dari abu hurairoh)
2.      Diriwayatkan oleh muslim dari dari abi said al khadri, rosulullah saw. Bersabda: “apabila seseorang dari kamu ragu-ragu dalam sholatnya, tidak tau sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan, tiga atau empat rokaat, maka buanglah keraguan itu dan berpeganglah pada apa yang meyakinkan”.
3.      Diriwayatkan oleh tirmidzi dari Abdurrahman bin auf, beliau berkata: saya mendengar Rosulullah SAW bersabda: “ apabila seseorang lupa dalam sholatnya, tidak tau apakah sudah satu rokaat atau dua rokaat, maka yang diambil adalah satu rokaat, begitu pula apabila tidak tau sedah tiga rokaat atau empat rokaat maka yang diambil adalah tiga rokaat. Kemudian sujudlah dua sujud sebelum salam”.
Dan yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
1)        Asal itu tetapnya sesuatu pada keadaan semula
Contohnya:
-            Orang yang yakin dalam keadaan berhadats kemudian ragu dalam kesuciannya, maka dia dihukumi berhadats, begitu juga orang yang yakin suci kemudian ragu tentang hadats, maka dia dihukumi suci.
-            Orang yang makan pada akhir malam kemudian ragu apakah sudah terbit fajar, maka puasanya tetap sah karena pada dasarnya dia makan dimalam hari.
-            Orang yang makan diakhir siang tanpa ijtihad kemudian ragu tentang terbenamnya matahari, maka puasanya puasanya batal karena pada dasarnya dia makan disiang hari.
-            Seseorang yang pada awalnya berniat kemudian ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka puasanya tetap sah tanpa perbedaan.
-            Seseorang membeli air kemudian menuduh najisnya air tersebut supaya bisa mengembalikannya, maka yang diterima adalah perkataan penjual karna pada dasarnya air itu suci.
2)        Pada dasarnya sesuatu itu bebas dari tangguangan
Contohnya:
-            Apabila terdapat perselisihan antara orang yang menghutangi dan orang yang dihutangi, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan orang yang menghutangi, karena yang asal adalah bebas dari tanggungan.
-            Terdakwa yang menolak melakukan sumpah tidak dapat ditetapkan hukuman karena penolakan tersebut. karena pada asalnya bebas dari tanggungan.
-            Tidak diterimanya saksi yang hanya seorang saja dalam masalah tanggungan selama tidak ada perbandingan dengan orang lain
3)        Apabila seseorang ragu-ragu apakah dia telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka hukum asal adalah dia belum mengerjakan.
Kaidah tersebut selaras dengan kaidah lain, yaitu: barang siapa yakin telah melakukan sesuatu, akan tetapi ia ragu dalam jumlah sedikit banyaknya, maka yang diambil/ dianggap adalah yang sedikit.
Contohnya:
-            Seseorang yang ragu apakah sudah mentalak dua atau empat, maka yang diambil adalah yang sedikit.
-            Orang yang ragu apakah dia meninggalkan suatu yang diperintah dalam sholat atau tidak sujud sahwi atau melakukan perbuatan yang dilarang, maka dia tidak perlu sujud sahwi karena pada dasarnya dia tidak melakukan apa-apa.
-            Seseorang yang lupa kemudian ragu apakah sudah sujud sahwi atau belum maka sujudlah.
4)        Asal dari sesuatu itu tidak ada
Contohnya :
-            Seorang suami istri berselisih tentang belum atau sudahnya jima’, maka ucapan yang dibenarkan adalah yang mengatakan belum jima’ karena yang asal adalah tidak ada jima’
-            Apabila seorang pemjual dan pembeli berselisih paham tentang cacat yang ada pada barang dan penjual mengingkarinya maka perkataannya dibenarkan kerana asalnya tidak ada(cacat).
-            Jika ditetapkan atasnya hutang dengan ketetapan dan bukti kemudian dia mengaku sudah membayar hutang dan bebas dari hutang, maka perkataan yang dibenarkan adalah orang yang menghutangi karna pada asalnya hal itu (membayar hutang) tidak ada.
5)        Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadian.
Contohnya:
-            Seseorang melihat air mani di pakaiannya, tapi ia tidak ingat kapan mani itu keluar, maka orang tersebut wajib mandi dan mengulangi shalatnya yang dia lakukan setelah tidur yang terakhir inilah waktu yang terdekat dengan keluarnya mani.
-            Seorang dokter mengoperasi ibu hamil, untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam kandungannya, operasi tersebut berhasil dengan selamat. Setelah ada seminggu bayi itu meninggal, maka dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Sebab kematian bayi tersebut belum tentu karena dokter itu, bisa jadi karena sebab lain yang lebih dekat dengan kematian bayi tersebut.
-            Seseorang berwudhu di sumur, lalu melaksanakan sholat, setelah beberapa hari baru tahu kalo di sumur tersebut ada bangkai, maka dalam hal ini tidak usah mengqodo’ sholat, kecuali yakin ketika sholat dalam keadaan najis.
6)        Menurut “Imam Syafi’i”: Asalnya segala susuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya, sedangkan menurut “Imam Hanafi”: Segala sesuatu pada dasarnya adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
Contohnya :
-            Walaupun seseorang sangat ragu tentang hukum Biawak maka hukum asalnya boleh, karena tidak tidak ada dalil yang mengharamkannya.
-            Seseorang tidak tahu, Jerapah haram apa halal, menurut As-Sibki, halal memakannya karena hukum asalnya boleh, selama tidak memabukkan dan tidak ada dalil yang mengharamkannya.
7)        Hukum asal farji (tentang seks) adalah haram
Contohnya:
-            A ingin menikahi perempuan di suatu desa, tetapi di desa itu ada salah satu muhrimnya (misalnya adik perempuan), maka dalam hal ini A tidak boleh menikahi salah satu perempuan di desa itu, karena hukum asal farji adalah haram.
-            Seseorang mewakili untuk membeli budak perempuan, dan menggambarkan budak tersebut, maka dia membeli budak. Sebelum budak tersebut Islam tidak boleh untuk mewakili dalam hal wathi’.
8)        Hukum asal dalam pembicaraan adalah yang hakiki
Contohnya:
-            Jika seseorang mewakafkan suatu harta kepada anaknya, maka cucunya tidak mendapatkan bagian wakaf, karena kata anak secara hakiki adalah anak langsung.
-            Seseorang bersumpah, tidak akan membeli suatu barang, kemudian dia mewakilkan orang lain untuk membeli sepeda, maka dia tidak melanggar sumpah, karena kata membeli secara hakiki tidak berarti mewakilkan.
-            Ketika seseorang berhenti menghafalkan Al-Quran, meskipun dia berhenti menghafalkan Al-Quran, ayat/surat yang sudah dihafal tidak boleh sampai lupa.

Pertentangan Dua Ashl Atau Ashl Dan Dzohir
Apabila ada pertentangan dua ashl atau ashl dan dhohir maka wajib melihat dalam keunggulan.
1.        Pertentangan ashl dan dhohir dibagi menjadi empat;
a.         Ashl harus dimenangkan secara pasti. Apabila bertentangan dengan sekedar kemungkinan.
Contoh : Orang yang keadaan suci kemudian ragu apakah sudah batal atau belum, maka dikembalikan ke ashl, yaitu belum batal
b.         Dhohir dimenangkan secara pasti apabila bersandar pada :
·           Sebab yang dimenangkan oleh syara’
       Contoh : Pemberitahuan orang yang dapat dipercaya tentang masuknya waktu sholat atau tentang najisnya air.
·           Sebab yang  dikaitkan oleh kebiasaan
Contoh : Air got yang mengalir di lubang kamar mandi. Karena biasanya bercampur dengan air kencing, maka air itu hukumnya najis.
·           Sebab yang dikuatkan oleh tanda,
Contoh : Jika seekor kambing kencing di air yang banyak, kemudian air tersebut berubah, maka air itu dihukumi najis. Namun, jika air tersebut tidak berubah karena tergenang lama, maka tidak dihukumi najis.
·           Kabar dari seseorang
Contoh : ketika imam syafi’i ingin meneliti tentang haid, maka imam syafi’i langsung melakukan penelitian ke beberapa wanita untuk menanyakan hal tersebut.
c.         Ashl dimenangkan, menurut pedapat asoh apabila sebab – sebab kemungkinan dianggap lemah.
Contoh : Menurut hukum ashl, baju pembuat arak tetap suci walaupun ada kemungkinan terkena percikan arak, karena sebab – sebab kemungkinannya dianggap lemah.
d.        Dhohir dimengangkan menurut pendapat yang ashoh, apabila dhohir dianggap kuat.
Contoh : Apabila seseorang membaca al –fatihah dalam shalat kemudian ragu – ragu mengenai satu huruf mengenai satu huruf atau satu kalimat, maka keraguan itu tidak berpengaruh.
2.        Pertentangan dua ashl
       Apabila ada pertentangan dua ashl maka diunggulkan ashl yang lebih kuat yang dhohir atau lainnya, ibnu rafi’ah menyatakan dengan ucapannya; Apabila ada dua ashl yang saling bertentangan ashl yang lebih kuat tanpa ada perselisihan.
Misalnya:
-                 Apabila ada perbedaan seorang penjual menjual hewan yang  keadaan hamil dan ketika di beli kepada pembeli hewan tersebut melahirkan, pemilik anak hewan tersebut  apakah penjual atau pembeli, menurut abu hamid : anak hewan tesebut milik penjual karena ashl itu tetap pada pemiliknya. Sedangkan ad-dharami membolehkan keduanya yang jadi pemilik anak hewan , baik penjual atau pembeli.
-                 Apabila air kejatuhan najis dan ragu lebih dari dua kulah atau kurang, maka keduanya najis karena ashl tidak banyak, kalau yang kedua tidak najis karena ashlnya air itu suci.
-                 Apabila seseorang menjahitkan bajunya kemudian oleh penjahitnya dibuat jubah,karena tidak ada perintah yang jelas. Dan pemilik berkata tapi gamis. Yang pertama dibenarkan pemiliknya karena ashl tidak adanya izin. Yang kedua  dibenarkan penjahit karena ashl itu terbebas dari tanggungan.
“Penutup”
1.        Ibnu qodhi berkata dalam ringkasannya: hukum keyakinan tidak dapat berubah dengan keraguan kecuali dalam sebelas masalah:
a.         Seorang yang mengusap muzah, kemudian ragu apakah ia masanya telah habis. Maka, pada kasus tersebut dianggap telah habis masanya.
b.         Seorang yang mengusap muzah, kemudian ragu apakah ia mengusapnya dirumah atau ketika berpergian. Maka, dalam dua kasus ini dianggap telah habis masanya dan ia harus ganti muzah.
c.         Seekor hewan kencing di air yang banyak, kemudian airnya berubah dan tidak diketahui apakah berubahnya karena air kencing ataukah karena hal lain. Maka, air tersebut dihukumi najis.
d.        Wanita musthahadhoh yang mutahayyiroh (binggung ). Maka, ia wajib mandi di setiap shalat yang dia ragukan putus darah sebelumnya.
e.         Seorang yang pakaiannya terkena najis,tetapi dia lupa letak najisnya. Maka dia wajib membasuh semuanya.
f.          Wanita musthadhah dan orang yang beser (kencing yang terus menerus ) berwudhu kemudian ragu apakah telah purus hadastnya atau belum, lalu dia shalat dengan kesuciannya. Maka tidak sah sholatnya.
g.         Seorang bertayamum kemudian dia mengetahui sesuatu, namun ia tidak mengetahui apakah itu air atau fatamorgana. Maka batallah tayamumnya, meski pada keyataanya fatamorgana.
h.         Seseorang memanah hewan kemudian melukainya. Setelah itu, hewan tersebut menghilang dan ditemukan dalam keadaan mati. Lalu ia ragu apakah hewan tersebut mati karena kena panah atau batu. Maka, hewan itu tidaklah halal dimakan.
i.           Seorang musafir yang ragu apakah dia sudah sampai daerahnya atau belum. Maka, ia tidak boleh mengambil rukshoh (keringganan )
j.           Seorang musafir ragu apakah dia niat mukim atau tidak. Maka ia tidak boleh mengambil rukhshoh
k.         Seorang musafir takbiratul ihram dengan niat qoshr di belakang imam yang tidak diketahui apakah imam tersebut musafir atau muqim. Maka, musafir tidak boleh mengqoshor.
2.        Abu Hamid Al-Asrofi berpendapat : keraguan ada 3 macam
·           keragu-raguan yang timbul dari pangkal (sumber) yang haram.
Contoh: binatang sembelihan di Negara yang penduduknya islam dalam majusi. Maka tidak halal binatang tersebut. Sehingga diketahui bahwa binatang tersebut sembelihan orang islam, karena berasal dari haram, kecuali apabila pada umumnya sembelihan orang islam.
·           Keragu-raguan yang timbul dari pangkal yang mubah
Contoh: orang yang mendapat air yang telah berubah, perubahan tersebut ada 2 kemungkinan, karena najis atau karena lamanya diam. Maka boleh bersuci dengan air tersebut berdasarkan anggapan bahwa air itu asalnya suci.
·           Keragu-raguan yang tidak diketahui dari mana asalnya( haram atau halalnya)
Contoh: bekerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram dan tidak bis dibedakan hartanya yang haram dan halal. Dalam hal ini boleh jual beli dengan dia, karena kemungkinan barangnya halal dan tidak tegasnya yang haram. Hanya saja dimakruhkan karena dikhawatirkan pada barangnya yang haram.

Kaidah Ketiga : Keberatan itu bisa membawa kepada mempermudah
Dasar Kaidah
Semua keringanan dalam syara’ adalah bersumber dari kaidah ini.
Adapun dasar kaidah ini adalah :
1.    Ayat – ayat Al-Qur’an, antara lain :
a.    “Tidaklah  Allah membuat sempit dalam agama atas kalian”
b.    Allah menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian.
c.    “Allah menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian
2.    Hadits Nabi SAW. Antara lain :
a.    Aku diutus dengan membawa agama yang dicenderungi, yang murah lagi mudah.
b.    “ Sesungguhnya  Allah menghendaki kemudahan dengan ummat ini dan tidaklah kesukaran mereka.”
Sebab- sebab keringanan
1.    Berpergian
Misalnya :Sholat dhuhur, ‘Ashar dan, Isya masing- masing mestinya empat rakaat, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi syarat, maka masing-masing bias diqashar menjadi dua rakaa’at.
2.    Sakit
Misalnya : Puasa Ramadhan itu wajib atas orang yang sudah akil- baligh, namun apabila orang tersebut sakit, pusa menjadi tidak waib baginya, meskipun ia harus mengqodo’nya nanti.
3.    Terpaksa
Misalnya : minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalau tidak minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.
4.    Lupa
Misalnya:  Seharusnya makan itu membatalkan pusa, tetapi kalau makannya itu karena lupa, maka puasanya tidak batal.
5.    Bodoh
Misalnya : bergerak tiga kali berturut- turut dalam shalat, tetapi bagi orang yang belum/ tidak tahu dan memang baru saja mengerjakan shalat, shalatnya tidak batal, karena kebodohannya itu.
6.    Sukar :
Misalnya: Debu dijalan yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindari diri dari debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa- apa (ma’fu).
7.    Kurang
Misalnya: orang gila tidak terkena kewajiban shalat, sebab orang gila itu kurang akalnya.
Macam-macam Keringanan
Menurut Aziz Addin : Macam-macam Keringanan itu ada 6 :
1.  Takhfif Isqoth (keringanan pangguguran) : Seperti Terputusnya Sholat, Haji, Jihad karena Udhur .
2.  Takhfif Ibdal (Keringanan Penggantian) : Seperti mengganti Wudhu dan Mandi dengan Tayammum  dan Berdiri dalam sholat  dengan duduk.
3.  Takhfif Tanqish(Keringanan pengurangan) :seperti Qashr
4.  Takhfif taqdim (keringanan mendahulukan ) :  Seperti jama’ wa taqdim Zakat sebelum mencapai batas dan Zakat Fitri di bulan Romadlon.
5.  Takhfif takhir (keringanan mengakhirkan ): Seperti jama’ wa ta’khir puasa romadhon bagi orang yang sakit dan bepergian.
6.  Takhfif tarkhish (keringanan kemurahan) : orang yang sedang kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin bisa mati,padahal yang ada hanyalah jarak, maka orang itu diberi keringanan boleh minum arak tersebut.
Pembagian Rukhshoh.
Rukhshoh dibagi menjadi :
1.  Yang menjadi Wajib
Seperti makan bankai hukum asalnya adalah haram. Tetapi karena darurat, sekira jika tidak makan bisa menyebabkan kematian, maka hukumnya berubah menjadi wajib.
2.  Yang menjadi Sunnah
Seperti sholat dhuhur hanya dua roka’at hukum asalnya haram, tetapi karena bepergian jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnah.
3.  Yang menjadi Mubah
Seperti tempat (Panjar : uang lebih dulu dibayarkan sebelum ada barang atau kerja) hukum asalnya tidak boleh, tetapi karena sangat dibutuhkan, maka hukumnya berubah menjadi mubah.
4.  Yang menjadi Khilafil-aula
Seperti sholat Jama’ bagi orang yang sedang tidak berpergian hukumnya haram, tetapi karena sakit, maka berubah menjadi perbedaan pendapat.
Kaidah Pokok ini mempunyai kaidah cabang yaitu :
إذا ضاق الأمر اتسع           “Jika sesuatu itu manakala sempit, menjadi luas.”
Kaidah ini juga kebalikan dengan kaidah    
إذا تسع الأمر ضاق            “Jika sesuatu itu manakala luas, menjadi sempit.”

Kaidah Empat : Keadaan darurot itu harus dihilangkan
Dasar dari kaidah ini adalah : “ Tidak boleh membuat kemadhorotan pada diri sendiri dan membuat kemadhorotan pada orang lain” hadits yang ditakhrij dari kitab Al-Muwwatho’ karya Imam Malik dariUmar bin Yahya dari ayahnya merupakan hadits mursal, dan Baihaqi dan Daaruquthni dari hadits Abi Sa’id Al Khudri dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Majah dan Ubadah bin Shomat.
As-Suyuti berkata : kaidah ini berhubungan dengan banyak bab/ persoalan dalam fiqh, diantaranya adalah diprbolehkannya mengembalikan perkara atau barang yang cacat dalam jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati, dan sebagainya. Dan ada juga  kaidah-kaidah yang mengikuti kaidah ini, diantaranya adalah :
1.        Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang, contohnya :
-    Bolehnya meneguk khamr karena terpaksa.
-    Bolehnya mengucapkan kalimat kufur karena terpaksa.
-    Bolehnya menggunakan sesuatu yang haram dengan kadar yang dibutuhkan atas kedarurotan itu dan tidak boleh mengurangi kedarurotan itu apabila telah ditemukan sesuatu yang halal meskipun hanya sedikit.
2.        Sesuatu yang diperbolehkan karena darurot, ditetapkan sesuai kadar daruratnya yang mendekat pada kedarurotan. Dan sesuatu yang diperbolehkan karena kedarurotan itu batal (tidak boleh dilakukan)apabila yang mendekatkan dengan kedarurotan itu telah hilang, contohnya:
-    Tidak boleh memakan bangkai kecuali pada kadar untuk mencegah yang darurot.
-    Boleh mengambil tanaman yang haram untuk memberi makan hewan tetapi tidak boleh untuk dijual.
-    Bolehnya mengambil makanan di negara musuh untuk memenuhi kebutuhan hingga telah sampai pada dua perkara yang terlarang.
-    Diampuni pada tempat yang disucikan tidak menggunakan air tetapi batal jika membawa sesuatu yang digunakan untuk mensucikan tadi dalam sholat.
-    Bolehnya mengulang  sholat jum’at sekiranya dalam keadaan tergesa gesa
Terdapat pengecualian/ diluar dari yang telah disebutkan diatas, diantaranya:
a.    Berjalan tanpa menggunakan alas kaki sesungguhnya diperbolehkan bagi orang-oran fakir, kemudian boleh bagi orang-orang kaya menurut pendapat yang lebih shohih.
b.    Khulu’ diperbolehkan untuk istri untuk keringanan, kemudian boleh mencari yang lain (suami) setelah itu.
c.    Li’an diperbolehkan apabila sulit untuk mendatangkan saksi atas kejadian zina.
Sebagian ulama’ berpendapat: ada lima urutan-urutan dalam sebab-sebab memperolehnya keringanan dan yang menghilangkannya :
1.         Tingkat darurat (tidak boleh tidak), yaitu telah sampainya batasan jika tidak memperoleh larangan yang merusak atau yang mendekati kerusakan dan diperbolehkannya makan yang haram.
2.    Tingkat hajat (sesuatu yang dibutuhkan) seperti orang lapar yang tidak menemukan apa yang bisa dimakan, tidaklah rusak meskipun dalam keadaan tidak sangat lapar, dalam hal ini tidak dibolehkan memperoleh barang yang haram dan dibolehkan berbuka puasa.
3.    Tingkat manfaat (sesuatu yang baik) seperti orang yang menginginkan roti yang bergizi, daging kambing, makanan yang bergizi.
4.    Tingkat zienah  (sesuatu yang tersier  untuk keindahan) seperti orang yang menginginkan  sesuatu yang manis, gula dan pakaian yang bersih dari sutera dan linen (rami).
5.    Tingkat Fudhul (sesuatu yang berlebihan) seperti keleluasaan makan barang yang haram dan syubhat.
3.    Kemadhorotan tidak bisa dihilangkan dengan kemadhorotan yang setingkat.Contoh :
-      Tidak memakan makanan orang lain yang sama-sama dalam keadaan lapar, tidak memotong kelezatan dari apa yang diambilnya serta tidak boleh membunuh anaknya.
-      Walaupun gugur atas luka yang diperolehnya maka jika melanjutkan peperangannya dan jika berpindah memerangi yang lain maka dikatakan melanjutkan
4.    Jika ada dua kerusakan saling bertentangan maka pilihlah dari dua sesuatu yang lebih besar  bahayanya dengan tingkatan yang lebih ringan dari keduanya.
Contoh : Syari’at qishos, hudud, bughot, pemotong jalan, syuf’ah, faskh (rusak) dengan cacatnya penjualan, nikah, kekuasaan atas dasar agama, nafkah wajib, mengambil makanan orang lain yang keadaan lapar dan menebang pohon orang lain sampai merobohkan pohonnya disekitar rumah dan membelah perut si mayit  jika menelan harta benda atau di perutnya terdapat janin yang ada harapan hidup, melempar orang-orang kafir jika saling memerangi perempuan atau anak kecil atau dengan keluarga orang-orang muslim. Dibolehkan membayar harta benda orang-orang kafir yang mengepung orang-orang muslim yang mana orang muslim tidak melakukan perlawanan dengan mereka, dan seperti penyelamatan kepada keluarga dari mereka dengan harta benda jika tidak memungkinkan yang lain. Dibolehkan berpindahnya api yang membakar air maka terbakarlah dan melihatnya merendahkan atasnya dari sabar dari api.
5.    Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kemashlahatan. Maka jika memperhatikan syari’at dengan sesuatu yang dilarang itu lebih berat daripada memperhatikan pada sesuatu yang dilarang. Nabi  Muhammad SAW bersabda : “Jika aku perintahkan kalian suatu perkara maka datanglah ( penuhilah ) darinya apa yang kalian mampu dan jika aku larang kalian tentang suatu perkara maka jauhilah kalina semua”. Contoh : Dibolehkan meninggalkan beberapa kewajiban dengan menanggung kesulitan (kesukaran) seperti meninggalkan berdiri ketika sholat, berbuka puasa, dan toharoh dan tidak membiarkan pada sesuatu yang dilarang terutama dosa besar.
6.    Hajat menempatkan kedudukan yang yang darurat ( sebuah keharusan ) yang bersifat umum atau khusus. Contoh :
-    Pensyari’atan ju’alah, ijaroh, hiwalah pada suatu perkara yang ada didalamnya dari kebodohan dan pada kemanfaatan yang hilang dan menjual agama dengan agama.
-    Dibolehkan melihat kepada selain mahrom ( ajnabiyah ) dalam hal muamalah dsb.
-    Memkan dari harta rampasan perang dibolehkan sesuai kebutuhan dan tidak disyari’atkan bagi orang yang makan agar tidak makan bersama selainnya.
-    Menyiapkan ( menggunakan ) wadah dengan perak dibolehkan sesuaikebutuhan

Kaidah Yang Kelima : Adat Kebiasaan Dapat Dijadikan Hukum
Asal dari kaidah tersebut : Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka baik pula di hadapan Allah. Ketahuilah bahwa perumpamaan adat dan kebiasaan kembali kepada fikih dalam permasalahan yang tidak terhitung banyaknya diantaanya adalah kebiasaan awal haid dan akhir haid meliputi keluar sedikitnya haid, nifas, dan suci dan mayoitas paling banyak haid dan ketetapan sedikit dan banyaknya kapan dan pekerjaan bemanfaat untuk sholat dan najis-najis yang termaafkan dalam sholat. Sedikit najis dan sepanjang zaman singkatnya dalam ruang lingkup wudhu dan pendirian sholat dalam hal jamaah dan sholat dan antara ijab qabul.
Pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan kaidah ini:
Pembahasan pertama: didalamnya ditetapkan oleh adat dan demikian terdapat furu’ (cabang-cabang)
1.        Haid, dalam haid ada beberapa macam seperti yang dijelaskan sebagian ulama.
2.        Tidak ada peselisihan dalam syarat ketentuan dan apakah cukup dengan 2 kali atau 3
3.        Orang yang terluka dalam berburu wajib sesuai ketetapan sesuai  sampai mengalahkan prasangka baha itu adat kebiasaan
4.        Pilihan anak kecil sebelum baligh dengan penipuan mereka bekata kabarkanlah dia mengabarkan dua kali atau lebih sampai mengalahkan prasangka petunjuknya
5.        Aib barang jualan dan pezinahan penolakannya ditetapkan dengan sekali
Pembahasan kedua: Bahwa adat kebiasaan dijadikan hukum ketika berlaku, misalnya:
1.        Menjual sesuatu dan menggantungkannya, maka hukumnya ikut adat yang berlaku biasanya. Jika terjadi kericuhan maka wajib menjelaskannya, jika tidak demikian maka jual belinya batal
2.        Mengijarah  tukang jahit atau tukang tenun. Maka siapakah yang menyiapkan benang dan tinta? Terjadi khilaf, menurut apa yang disohihkan oleh Ar-Rofii dikembalikan ke adat kebiasaannya. Jika terjadi perselisihan maka wajib dijelaskan, jika tidak maka batallah ijarahnya.
3.        Madrasah-madrasah  yang diwakafkan untuk mempelajari hadis dan tidak diketahui keinginan si pewakaf di dalamnya apakah untuk mempelajari ilmu hadis atau untuk membaca matan hadis atau  membicarakan kandungan hadis seperti fikih dan lainnya, dan tengah bertanya syekh abu fadal ibnu hajar pada gurunya al hafidz  abu  fadal al Iraqi dalam  masalah ini maka dia menjawab bahwa dzohirnya adalah mengikuti syaratnya para pewakaf karena mereka berbeda dalam  pensyaratan wakaf begitu juga istilah setiap negeri juga berbeda.
Pembahasan Ketiga: Pertentangan adat dengan syariat
1.        Sesungguhnya tidak ada hubungan hukum dengan syariat, maka adat istiadat berlaku didahulukan atas syariat.
Contoh: Jika seseorang bersumpah memakan daging, maka ia tidak melanggar sumpahnya (ketika ia memakan) Ikan, karena sesunggunya Allah telah menamakan ikan sebagai daging. Atau (jika) seseorang (bersumpah) tidak duduk di atas tanah yang luas, di bawah atap, atau di cahaya pelita, maka ia tidak melanggar (sumpahnya)  dengan duduk di atas bumi, karena sesungguhnya Allah menamakan bumi sebagai tanah yang luas, dan ia tidak (melanggar sumpahnya) dengan duduk di bawah atap, karena sesungguhnya Allah telah menamakan di bawah langit sebagai atap, serta ia tidak (melanggar sumpahnya) dengan duduk di bawah matahari, karena sesungguhnya Allah telah menamakan matahari sebagai pelita.
2.        Sesungguhnya terdapat hubungan hukum dengan syariat, maka hukum di dahulukan atas adat istiadat.
Contoh: Jika seseorang bersumpah bahwa dia tidak sholat, maka tidak melanggar sumpahnya kecuali dengan rukuk dan sujud, atau ia (bersumpah) tidak berpuasa, maka tidak melanggar (sumpahnya) dengan benar-benar menahan, atau ia (bersumpah) tidak menikah, maka ia melanggar sumpahnya dengan akad bukan dengan wathi. Atau seseorang mengucapkan jika saya melihat hilal maka kamu tertalak, kemuadian terlihat selainnya (hilal ramadhan) dan dia mengetahuinya maka tertalaklah menurut syariat. Karena sesungguhnya hilal dalam perkara ini bermakna umum seperti sabda nabi SAW: ketika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah kalian (karena melihatnya).  Walaupun secara lafadz menghendaki keumuman dan secara syariat menghendaki kekhususan, namun aslinya dianggap kekhususan syariat. Atau jika seseorang bersumpah tidak makan daging maka tidak melanggar sumpahnya sebab ia memakan bangkai, atau ia bersumpah tidak wati, maka ia melanggar sumpahnya sebab wathi dubur.
Pembahasan keempat : di dalam pertentangan urf dengan bahasa
Shohibul kafi menceritakan ada dua sisi atau dua pandangan yang harus didahulukan.
1.        Pendapat Al-Qadli Al-Husain :substansi yang berupa lafadz perbuatan dengan penempatan bahasa.
2.        Pendapat Al-Baghowi: yang menunjukkan urf karena sesungguhnya urf adalah hukum dalam bertindak terutama dalam hal iman
Contoh: ketika kamu masuk di rumah saudaramu dan dipersilahkan makan tetapi kamu menolaknya. Kemudian saudaramu berkata: kalau kamu menolaknya (tidak memakannya) maka istriku akan tertalaq. Kemudian di hari keduanya kamu mau memakannya. Maka pada hari yang pertama itu terjadi sumpah/ jatuh talaq dan hari kedua sumpah tidak berlaku.
Hukum yang menunjukkan perihal atas kesepakatan

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Sangat bermanfaat,semoga allah membalas kebaikan antum aamiin....

    ReplyDelete
  3. mantap bang

    https://ketikancoeg2.blogspot.com/

    ReplyDelete