BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah filsafat Yunani
mulai pada awal abad ke-6 SM, suatu zaman acuan yang sering disebut juga zaman
peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa itu, sering diceritakan bahwa alam
semesta dan kejadian di dalamnya terjadi berkat kuasa-kuasa gaib dan
adikodrati, kuasa para dewa-dewi. Cerita mitos ini kerap ditemukan dalam
sastra-sastra Yunani.
Pada awal abad
tersebut, muncul para pemikir dari daerah pesisir Asia kecil, yakni Miletos.
Mereka mencoba memahami dan menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya
tanpa bersandar pada mitos, melainkan pada logos. Logos berarti kata atau
rasio. Bila bertentangan dengan mitos, kita harus menerjemahkan logos dengan
rasio. Dengan logos ini, mereka mencari prinsip-prinsip rasional dan
objektif-ilmiah yang menjelaskan keteraturan dunia dan posisi manusia di
dalamnya. Sejak saat itu, mulailah babak baru dalam sejarah filsafat Barat
Kuno: filsafat Yunani.
Secara umum, tema-tema
pokok filsafat Yunani mencakup 3 hal: 1) Permasalahan tentang asas (arkhe) dan
hukum (logos) alam semesta serta upaya menemukan satu prinsip yang
mempersatukan segalanya, 2) Tema-tema yang berkaitan dengan paham aletheia
(ketidaktersembunyian) seperti ada, kebenaran, pengetahuan sejati, dan 3)
Pertanyaan tentang kodrat manusia dan pengetahuan tindakan etisnya: jiwa, yang
baik dan keutamaan (arete).
Para sejarawan filsafat
sepakat membagi sejarah filsafat Barat Kuno menjadi 3 zaman: 1) Zaman pra-Sokratik
2) Zaman Klasik dan 3) Zaman Yunani-Romawi. Dengan dibuatnya makalah ini
pembahasan akan dikhususkan mengenai filsafat zaman pra-Sokratik. Zaman
pra-Sokratik mencakup filsafat alam dari para pemikir asal Miletos, Parmenides,
Herakleotos, beberapa filsuf alam yang muda lainnya dan para atomis (650 – 500
SM).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan filsafat pra Socrates atau filsafat alam?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh filsafat yang ada di zaman filsafat pra Socrates
atau filsafat alam?
3.
Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh filsafat yang ada di zaman filsafat pra
Socrates atau filsafat alam?
C. Tujuan
1.
Mengenalkan tokoh-tokoh filsafat alam dan pemikirannya
2.
Memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai filsafat
pra Socrates atau filsafat alam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Pra Socrates: Filsafat Alam
Pemikiran
filsafat Yunani awal sering disebut sebagai filsafat alam. Penyebutan tersebut
didasarkan pada munculnya para ahli pikir alam yang memfokuskan pemikirannya
pada hal-hal di sekitarnya, yakni alam semesta. Tipe filsafat alam ini juga
disebut sebagai filsafat pra-Socrates. Karena, karakter pemikiran filsafat ini
berbeda dengan pemikiran filsafat zaman Socrates dan berikutnya. Tokoh-tokoh
filsafat alam ini mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala
sesuatu. Pandangan mereka melahirkan monisme, yaitu aliran yang menyatakan
hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi,
Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.[1]
B. Tokoh-tokoh Filsafat Alam
1. Thales (624-545 SM)
Menurut
Praja yang dikutip Nina W. Syam, Sejarah filsafat di dunia Barat diawali dengan
masa filosofi alam. Tokoh filsafat pada masa ini adalah Thales yang terkenal
dengan pemikirannya, “semuanya berasal dari air”. Air menjadi pangkal, pokok,
dan dasar dari segalanya yang ada di alam semesta. Menurut Simon Petrus berkat
kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya,
air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap dan tak terbinasakan.[3]
Menurut
Barnes, argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan
makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup
juga memerlukan air untuk hidup. Menurut Bertens, air adalah zat yang dapat
berubah-ubah bentuk menjadi padat, cair dan gas tanpa menjadi berkurang. Ia
juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang
sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung di atasnya.[4]
Thales
lahir di Miletus, Yunani. Ia bisa dikatakan filsuf pertama. Pemikirannya yang
sangat terkenal adalah zat utama yang menjadi prinsip dasar (arche) semua
kehidupan adalah air.
Air
adalah anasir yang menhidupkan dan memunculkan segala sesuatu. Berkat kekuatan
dan daya kreatifnya sendiri air mampu tampil dalam segala bentuk. Ia bersifat
mantap dan tak terbinasakan.[5]
Thales
juga dikenal sebagai tokoh yang mampu meramal terjadinya gerhana yang menurut
astronom memang terjadi pertama kali pada tahun 585 SM. Dalam perjalanan
hidupnya, Thales pernah mengadakan perjalanan ke Mesir dan kemudian
memperkenalkan ilmu geometri ke Yunani. Geometri di Mesir memang masih hanya
sebatas ilmu hitungan kasar dan belum ada bukti bahwa Thales menguasai ilmu
tersebut secara deduktif.
Thales
bukan seorang matrealis karena dia menambahkan bahwa dalam segala sesuatu
terdapat pula Tuhan. Bagi Thales, Tuhan bukan Zat yang mencipta, Ia adalah
serupa roh abadi seperti kesatuan jiwa dengan raga jasmaniah kita. Inilah bibit
Pantheisme atau mazhab wahdatul wujud, satu faham yang beranggapan
bahwa Tuhan ada terdapat dalam segala
hal.[6]
2. Anaximander (610-546 SM)
Anaximandros
mengungkapkan bahwa “sesuatu berasal dari apeiron dan akan kembali ke apeiron
lagi.” Menurutnya jika air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka
seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi zat yang
berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan
sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena itu
Anaximandros berpendapat bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut
dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih
mendalam dan tidak dapat diamati oleh pancaindera.[7]
Anaximander
adalah murid Thales dan termasuk tokoh kedua Mazhab Milesian. Ia hidup pada
abad ke-6 SM di Miletus. Berbeda dengan Thales, ia berpendapat bahwa permulaan
yang pertama tidaklah bisa ditentukan (apeiron) karena tidak memiliki
sifat-sifat yang ada sekarang.
Apeiron,
“yang tidak terbatas” (dari a = tidak, dan eras = batas). To apeiron ini
bersifat meliputi segalanya. Dari prinsip abstrak ini, berasal segala sesuatu
yang ada di dalam jagad raya sebagai unsur-unsur berlawanan (panas dingin,
kering basah, malam siang). Kepada prinsip ini juga semua itu pada akhirnya
kembali.[8]
Ia
mengatakan bahwa segala hal berasal dari satu substansi asli, namun substansi
itu bukan air seperti diyakini Thales, melainkan substansi itu tak terbatas,
abadi dan tak mengenal usia serta melingkupi seluruh dunia. Anaximander
memiliki argumen untuk membuktikan bahwa substansi asal itu bukan air atau
substansi lain. Misal saja substansi itu bersifat asal, maka substansi itu akan
mengalahkan yang lain. Anaximander mengatakan unsur-unsur yang telah dikenal
itu saling beroposisi. Udara bersifat dingin, air bersifat dingin dan api
bersifat panas. Maka, jika satu substansi itu asal, substansi lain tentu sudah
punah.
Anaximander
mengatakan bahwa bukan dari bahan ini dan itu alam ini dibuat, akan tetapi dari
bahan lain, yang sudah tentu bersifat bebas dan tidak terlibat dalam
pertarungan dan perselisihan. Dengan demikian substansi asal harus netral di
tengah perselisihan ini.[9]
Kesulitan
menerima ajaran Anaximander ini adalah bahwa ia mengembalikan segala sesuatu
yang konkrit kepada satu prinsip yang sama sekali abstrak, yakni to apeiron.
Misalnya batu yang sangat konkrit berasal dari sesuatu yang abstrak. Ini
sangatlah tidak masuk akal. Padahal jauh lebih masuk akal jika dikatakan bahwa
batu berasal dari butir-butir pasir yang mengalami proses pemadatan dan
pengerasan.[10]
Anaximander
dikenal sebagai sosok yang memiliki rasa ingin tahu ilmiah yang besar. Ia
adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk silinder.
Ia sering mengatakan bahwa matahari sama besarnya dengan bumi, atau dua puluh
tujuh kali bahkan dua puluh delapan kali sama besarnya.
3. Anaximenes (585-528 SM)
Ia
menyatakan bahwa “yang asal itu satu dan tidak terhingga.” Asal itu udara. Sama
dengan Thales dan Anaximandros, Anaximenes hidup sezaman dengan kedua filsuf
tersebut kendati ia lebih muda dari keduanya. Salah satu kesulitan untuk
menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah
bagaimana menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara yang metafisik dengan
yang fisik. Karena itu, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik
sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melain kan kembali pada zat yang bersifat
fisik, yakni udara. Tidak seperti air yang tidak terdapat pada api menurut
Thales, udara merupakan zat yang terdapat di dalam segala hal, baik air, api,
manusia maupun segala sesuatu. Karena itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara
adalah prinsip dasar segala sesuatu.[11]
Anaximenes
berkeyakinan bahwa yang menjadi asal dunia adalah udara. Karena udaralah yang
meliputi seluruh alam dan udara pula yang menjadi dasar hidup bagi manusia
untuk bernafas. Baginya, jiwa adalah udara, api adalah udara yang encer, jika
dipadatkan udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi menjadi tanah dan
akhirnya batu.
Pandangan
bahwa udara merupakan prinsip dasar segala sesuatu, diterapkan Anaximenes juga
pada pandangannya tentang jiwa manusia. Menurutnya, jiwa manusia tidak lain
hanyalah udara yang dipupuk dengan bernafas. Dalam pandangan ini, Anaximenes
sering disebut sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh
manusiawi dan jagad raya, suatu tema yang kelak mengarah pada pengertian
manusia sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang mencerminkan jagad raya sebagai
dunia besar (makrokosmos).[12]
Ia
mengkiaskan dunia dengan manusia: “sebagaimana ruh dan jiwa manusia terdiri
dari udara yang mengelilinginya, begitu juga nafas dan udara mengepung dunia
keseluruhannya”. Menurutnya bumi juga bernafas. Bahkan ia beranggapan bahwa
bumi berbentuk datar dan terapung di atas udara dari segala penjuru seperti
daun kering yang sedang beterbangan. Benda-benda yang ada di langit juga
terapung di udara. Ia beranggapan bahwa bumi adalah datar sebagai cakram atau
meja bundar dan langit melindunginya sebagai topi.[13]
Anaximenes
adalah tokoh terakhir tritunggal mazhab Milesian. Anaximenes beranggapan bahwa
bumi berbentuk meja bundar. Ketiga pemikir yang lahir di Miletus ini sangat
diapresiasi oleh banyak pemikir dan memberikan dasar bagi lahirnya filsuf di
kemudian hari.
4. Pythagoras (582-496 SM)
Pythagoras
adalah matematikawan dan filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya.
Bahkan dikenal dengan “Bapak Bilangan”. Ia lahir di pulau Samos. Ia keturunan
keluarga terpandang. Ayahnya Mnesachos dan sebagian tokoh mengatakan bahwa ia
keturunan dewa Appollo. Ia dikenal sebagai pribadi yang menarik, meski
pemikiran filsafatnya agak membingungkan. Ia ahli dalam ilmu pasti dan musik. Ia
menganggap bahwa filsafat adalah “musik yang tertinggi” karena teorinya tentang
angka kita jumpai perwujudannya dalam note musik lebih mudah dimengerti. Menurutnya
segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika sehingga dapat diukur
dan diprediksi dalam siklus beritme.
Ia dikenal sebagai ahli mistik dan ahli pikir. Dalam aliran mistik, ia
terpengaruh orfisme dan percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk sekarang ke
makhluk yang akan datang. Pokok ajaran Pythagoras mengenai segala barang dan angka-angka.
Menurutnya, “alam ini tersusun dari angka-angka, di mana ada matematika, ada
susunan dan ada kesejahteraan”. Pythagoras mencampurkan antara mistik dan ilmu.[14]
Menurutnya,
benda satu dari benda lain dibatasi oleh angka, kita menentukan segala sesuatu
dengan bilangan. Batas, bentuk dan angka dalam pengertian Pythagoras adalah
sesuatu yang sama. Segala sesuatu dalam alam raya tidak tertentu dan tidak
menentu, setelah memiliki batas, bentuk dan angka barulah menjadi tentu dan
pasti. Dunia angka adalah dunia kepastian yang erat kaitannya dengan dunia
bentuk. [15]
Dia
telah memberikan sumbangan penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada
akhir abad ke-6 SM. Dalam ajaran agama ia mewujudkan dalam bentuk ordo
keagamaan. Ia juga telah menanamkan filsafat yang bercorak religius di Yunani,
di Abad Pertengahan, dan Zaman Modern hingga era Immanuel Kant.
5. Xenophanes (580-470 SM)
Menurut Albert A. Avey, Xenophanes memiliki pemikiran bahwa “Tuhan hanya
satu, tidak bergerak, tidak berubah dan mengisi seluruh alam”. Menurutnya,
Tuhan adalah “yang Satu meliputi Semua”, yakni tidak dilahirkan dan tidak
memiliki akhir, artinya bersifat kekal. Ini berbeda dengan konsep dewa-dewi
yang dilahirkan dan dapat mati. Ia tidak menyerupai makhluk duniawi manapun,
baik manusia atau binatang. Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia, namun
mampu melihat, berpikir dan mendengar. Ia juga senantiasa menetap di tempat
yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja.[16]
Seorang kritikus yang ternama pada zamannya adalah
Xenophanes. Dari tulisan-tulisannya kita mengenal bahwa perhatian Xenophanes
tertuju pada kenyataan perbedaan adat istiadat, agama dan pendapat yang dianut
oleh kelompok manusia yang mengaku dirinya sebagai suku bangsa.[17]
Xenophanes termasuk agamawan yang saleh dan taat beragama. Menurutnya segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara
alam semesta. Ia tidak banyak meninggalkan buku-buku karena lebih sering
menyampaikan pemikiran-pemikirannya secara lisan. Namun ia sangan berpengaruh,
salah satunya kepada muridnya yaitu Parmenides.
6. Parmenides (540-475 SM)
Ia memiliki pemikiran
bahwa “pembangunan logika pertama. Yang hadir itu ada, yang hadir itu
tidak ada. Yang ada tetap selamanya ada”. Parmenides menyatakan bahwa “yang
ada” bersifat abadi, namun berhingga di dalam ruang”. Menurut Bertens,
Parmenides mengatakan bahwa “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin
disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi.
Orang yang mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak ada. Orang yang mengatakan
“yang ada” dan “yang tidak ada” itu bersama-sama ada. Ini adalah hal yang
mustahil, sebab yang “yang tidak ada” tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibicarakan. Kesimpulannya adalah “yang tidak ada” itu tidak ada, sehingga
hanya “yang ada” yang dapat dikatakan ada.[18]
Parmenides lahir pada 540 SM di Elea, Italia Selatan.
Di kota kelahirannya ia dikenal sebagai ahli politik dan pernah menjabat dalam
pemerintahan. Ia menjadi terkenal dengan pernyataannya “hanya ‘yang ada’ itu
ada”. Ia tidak mendefinisikan apa itu “yang ada”, akan tetapi ia menyebutkan
beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu. Menurutnya, “yang ada” itu
tidak bergerak, tidak berubah dan tidak terhancurkan. Gerak yang tampak
hanyalah tipuan belaka, ia hanyalah pengetahuan pancaindera.[19]
“Yang ada” itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal. Kalau orang
menyangkal bahwa “yang ada” itu tidak ada, dengan pernyataannya sendiri orang
itu mengakui bahwa “yang ada” itu ada. Sebab, kalau benar “yang ada” itu tidak
ada, orang itu tidak dapat menyangkal adanya “yang ada”. Jadi, kenyataan bahwa
“yang ada” itu dapat ditolak keberadaannya menunjukkan “yang ada” itu memang
ada, sedangkan “yang tidak ada” itu tidak ada. Sesuatu “yang tidak ada” sama
sekali tidak dapat dikatakan atau dipikirkan, apalagi didiskusikan. Sebaliknya,
“yang ada” itu selalu dapat dikatakan, dipikirkan dan didiskusikan. Olehh sebab
itu, pernyataan Parmenides ini menjadi terkenal, “ada dan pemikiran itu satu
dan sama.” Maksudnya, “yang ada” itu selalu bisa dipikirkan, dan “yang dapat
dipikirkan” selalu ada.[20]
Sesungguhnya. “yang ada” sebagai realitas sejati di balik segala perubahan itu
tinggal tetap, abadi dan tidak berubah.
Kemudian,
ia membuat suatu pemisahan tajam dan membagi pengetahuan menjadi pengetahuan
indera dan budi. Pengetahuan indera atau pengetahuan empiris diperoleh dari
pengamatan dan pengalaman terhadap realita materi melalui pancaindera.
Pengetahuan budi adalah pengetahuan yang dapat dipercaya karena diperoleh
dengan akal dan didasarkan pada sesuatu yang tetap. Pengetahuan akal budi juga
bersifat murni dan sejati. Sebab pengetahuan ini hanya diperoleh berkat akal
budi yang mampu menangkap “yang ada” yang bersifat satu dan tidak berubah di
balik segala sesuatu yang bersifat inderawi dan tidak mantap.
Dengan
objek alam, Parmenides berpendapat bahwa arche (materi terdalam) merupakan
sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah, serta hanya ada satu. Maka
dengan ini ia mengingkari gerak dan perubahan. Sehingga filsafatnya disebut
filsafat ada. Namun, pandangan Parmenides ini jelas menimbulkan persoalan besar
jika dikonfrontasikan dengan pengalaman biasa sehari-hari yang menunjukkan
adanya perubahan yang terus-menerus pada sesuatu. Lalu Parmenides menantang
siapa pun untuk berani memakai akal budinya melawan arus pendapat umum, “Jangan
biarkan dirimu didesak ke jalan yang salah oleh kuatnya kebiasaan dan pandangan
umum. Jangan percaya pada penglihatan yang menyesatkan daan telinga yang hanya
mengumpulkan bunyi-bunyi. Juga jangan percaya pada lidah: hanya akal budi
semata-mata hendaklah menjadi penguji dan hakim segala sesuatu!”
7. Heraklitos (535-480 SM)
Menurutnya, “segala sesuatu berasal dari api yang mudah bergerak.” Tidak
ada yang tetap, semua senantiasa bergerak. Yang ada bukanlah being, tetapi
becoming. Tidak ada yang disebut ada, tetapi ada yang disebut menjadi. Segala
perubahan dunia dikuasai oleh logos, artinya pikiran yang benar. Logos kemudian
menjadi logika. Perubahan yang tiada henti itu dibayangkan Heraklitos dengan
dua cara: pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang
mengalir. Air sungai selalu bergerak dan tidak mungkin seseorang turun dua kali
di air sungai yang sama. Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api.
Maksud api di sini berbeda dengan mazhab Miletos yang menjadika air atau udara
sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Heraklitos, api bukanlah zat yang
dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan
gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya
menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok
untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.[21]
Menurut Heraklitos tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun
demikian, di dalam perlawanan tetap ada kesatuan. Dapat dikatakan bahwa yang
satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu. Anaximenes memandang ini adalah
suatu bentuk ketidakadilan, sedangkan Heraklitos justru mengatakan bahwa itu
adalah suatu keadilan. Ada siang dan malam, kehidupan dan kematian, kesehatan
dan penyakit. Demikian dari hubungan pertentangan ini segala sesuatu terjadi
dan tersusun. Heraklitos menegaskan, “perang adalah bapak segala sesuatu.”
Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan.[22]
Heraklitos lahir di kota Ephesos. Ia juga terpengaruh
filsuf alam Miletus. Ia berpendapat bahwa sega sesuatu berasal dari api. Api berubah
terus dan merupakan sesuatu hal yang chaotis. Karena segala sesuatu yang ada di
dunia ini tidak tetap. Pendapat ini dirumuskan dengan panta rhei, semua
mengalir. Satu-satunya realita adalah perubahan. Orang tidak mungkin turun dua
kali ke dalam sungai yang sama.
Heraklitos
beranggapan bahwa api adalah lambang dari segala kebenaran dan api adalah bahan
utama dari segala sesuatu. Seperti api, segala sesuatu lahir dengan musnahnya
barang lain. Segala sesuatu hidup atas kematian yang lain, dan mati untuk
kehidupan barang lain. Dunia adalah satu kesatuan, yang dibentuk oleh kombinasi
pertentangan.[23]
Ia
berpendirian, segala sesuatu itu menjadi dan berubah, maka tidak ada satu pun
yang mantap. Sekalipun kosmos yang indah dan tertata baik ini selalu berada
dalam arus gerakan yang tidak terputus dari berbagai unsur yang bertentangan:
musim panas menjadi musim dingin, yang lembab menjadi kering, yang tandus
menjadi basah, begitu seterusnya tanpa henti. “Kemantapan itu dusta!” tegasnya.
Tetapi semua perubahan tersebut hanya dapat berlangsung teratur karena daya
logos atau rasio dunia. Logos pula yang mempersatukan unsur-unsur yang
bertentangan dalam segala sesuatu sehingga dari segalanya menjadi satu dan dari
satu menjadi segalanya.[24]
Keyakinan bahwa realitas terdiri dari
unsur-unsur yang bertentangan yang keseluruhannya tersebut mengalir bagai arus
sungai. Jadi tidak ada satu realitas pun yang dapat dipikirkan tanpa realitas
lawannya. Misalnya kita tidak akan pernah mengerti apa itu malam jika tidak
mengetahui apa itu siang. Keyakinan ini sesungguhnya adalah peperangan yang
merupakan bapak segala sesuatu. Perang di sini berarti pertentangan. Unsur-unsur
yang semula saling bertentangan, menjadi kesatuan karena adanya logos. Akhirnya,
filsafat Heraklitos ini disebut juga sebagai filsafat menjadi.
8. Zeno (+490 SM)
Zeno
lahir pada 490 SM di Elea. Zeno salah seorang murid Parmenides. Zeno
mempertahankan filsafat ada dan mengingkari gerak. Gerak itu tidak ada, tidak
mungkin dan hanyalah suatu khayalan. Contohnya, anak panah yang dilepaskan dari
busurnya, ia tentu pada setiap saat berada pada tempat tertentu, tidak mungkin
ia pada suatu saat berada pada dua tempat. Akan tetapi mengapa gerak bisa
terjadi, kalau ia pada setiap saat harus berhenti pada satu tempat.[25]
Zeno mempertahankan pendapat gurunya, Parmenides. Mengenai yang satu dan
tetap, dan yang banyak itu ada dengan dalil logika yang kuat.[26]
9. Empedocles (492-432 SM)
Empedocles
lahir di Acragas, di pesisir selatan Sisilia. Empedocles dikenal sebagai
politisi demokrat sekaligus mengaku sebagai dewa. Hasil karyanya dituangkan
dalam bentuk syair-syair mengenai alam dan pemikiran-pemikiran mistis
keagamaan. Ia setuju dengan Parmenides bahwa tidak ada segala sesuatu yang
dilahirkan sebagai hal baru. Tetapi di sisi lain ia menentang bahwa kesaksian
indera adalah palsu. Pengamatan indera memang menunjukkan hal yang jamak, namun
keragaman itu disebabkan penggabungan dan pemisahan keempat anasir (air, udara,
api, tanah) yang merupakan dasar terakhir segala sesuatu. Proses penggabungan
dan pemisahan tersebut diatur oleh kekuatan cinta dan benci. Cinta adalah daya
yang mempersatukan keempat anasir, sedangkan benci merupakan daya yang
menceraikannya. Benda-benda alam semesta terjadi apabila kedua daya ini
berperang sehingga keempat anasir itu bercampur aduk dan munculah benda-benda
konkret.
Ia banyak dipengaruhi oleh aliran Pythagoras dan terkenal dengan
pemikirannya bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal
melainkan terdiri dari empat anasir atau zat. Memang saat itu ia belum memakai
istilah anasir (stoikeia) tetapi menggunakan istilah akar (rizomata). Sitilah
anasir yang sebenarnya baru digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah
air, tanah, api dan udara. Keempat anasir tersebut dapat dijumpai di seluruh
alam semesta dan memiliki sifat-sifat yang saling berlawanan. Api dikaitkan
dengan yang panas dan udara dengan yang dingin, sedangkan tanah dikaitkan dengan
yang kering dan air dikaitkan dengan yang basah. Salah satu kemajuan yang
dicapai melalui pemikiran Empedokles adalah ketika ia menemukan bahwa udara
adalah anasir tersendiri. Empedokles berpendapat bahwa semua anasir memiliki
uantitas yang persis sama. Anasir sendiri tidak berubah, misalnya tanah tidak
dapat menjadi air. Akan tetapi, semua benda yang ada di alam semesta terdiri
dari keempat anasir tersebut, walaupun berbeda komposisinya. Empedokles
menyatakan tulang tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air dan empat
bagian api. Suatu benda dapat berubah karena komposisi empat anasir tersebut
diubah.[27]
Empedocles
menulis puisi seperti Parmenides. Ia mengatakan bahwa masing-masing elemen
adalah abadi, akan tetapi mereka dapat bercampur karena cinta dan mereka rusak
atau berpisah karena pertengkaran. Cinta dan benci adalah tenaga utama yang
menggerakkan segalanya. Adakalanya cinta loebih berkuasa dari benci, maka
segala isi alam hidup rukun dan damai. Adakalanya pula tenaga benci lebih kuat,
maka terjadi kehancuran.[28]
Keempat
anasir tersebut harus diterima sebagai anasir pokok, sebab menurut observasi
pancaindera, keempat anasir ini dapat dijumpai di mana-mana. Udara adalah
anasir tersendiri yang harus diterima juga selain api, air dan tanah. Udara
dalam arti uap kabut, sebab gejala-gejala adanya angin membuktikan itu.[29]
Lalu
dalam bukunya tentang penyucian, ia mengajarkan tentang perpindahan jiwa dan
cara membebaskan diri dari penjara ragawi/bendawi dengan menyucikan diri.
10. Anaxagoras (499-428 SM)
Anaxagoras
lahir di Clazomenae, Ionia kira-kira tahun 499 SM. Ia banyak melewatkan
hidupnya di Athena dan Pericles. Ia adalah orang pertama yang memperkenalkan
filsafat ke negeri Athena.
Ia berpendapat bahwa “anasir asal itu banyak dan tak terhitung
jumlahnya, yang timbul dan hilang tidak ada, tiap benda mengandung anasir
sendiri-sendiri”. Anaxagoras sama seperti Empedokles yang menyatakan bahwa
prinsip dasar yang menyusun alam semesta tidaklah tunggal dan jumlahnya tidak
terhingga. Zat-zat tersebut disebutnya “benih-benih” (spermata). Menurutnya,
setiap benda bahkan seluruh realitas di alam semesta, tersusun dari suatu
campuran yang mengandung semua benih dalam jumlah tertentu. Indera manusia
tidak dapat menyerap semua benih yang ada pada suatu benda, melainkan hanya
benih yang dominan.[30]
Anaxagoras
mengatakan ada banyak sekali anasir penyusun realitas yang jumlahnya tidak
terhingga. Ia menyebut anasir itu spermata (benih-benih). Setiap benda dan
seluruh realitas tersusun dari campuran benih-benih tersebut dalam proporsi
tertentu. Pancaindera tidak sanggup menyerap semua benih yang ada dalam suatu
benda, kita hanya mampu menyerap benih yang dominan. Misalnya emas, kita segera
mengenalinya sebagai emas sebab benda itu memang memiliki benih emas sebagai
benih yang dominan. Namun dalam kenyataannya, benda itu juga memiliki benih
tembaga, perak, besi dan lain-lain. Hanya saja, semua benih yang lain ini sama
sekali tidak dominan sehingga pancaindera kita tidak dapat menangkapnya.[31]
Dan
ia berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya percampuran benih-benih itu
secara teratur adalah prinsip dasar segala gerakan yang disebut nous. Nous
berasal dari bahasa Yunani yang berarti ruh atau rasio. Ruh adalah penyebab
utama terjadinya seluruh perubahan fisik tersebut. Pokok penting ajarannya
adalah teorinya tentang nous (ruh, akal). Nous ini kita jumpai
perwujudannya dalam segala hal, dari perjalanan benda-benda langit hingga
benda-benda yang paling kecil.[32]
Ruh ini halus dan terpisah dari segala sesuatu namun kekuatannya melebihi
segala sesuatu. Ruh merupakan sumber gerak dan sifatnya yang mandiri tidak
terbatas dan tidak tercampur apa pun. Anaxagoras adalah filsuf pertama yang
menetapkan kemandirian ruh atau rasio terhadap semua anasir atau materi.
Hesiod,
seorang penyair Yunani pernah membuat pernyataan bahwa chaos (kekacauan) adalah
yang menciptakan bumi, lalu langit dan segala sesuatu lahir dari bumi dan
langit. Pernyataan ini ditulis ulang oleh Anaxagoras dan menjadi inti bagi
filsafat idealisme.
11. Democritos (460-370 SM)
Pemikiran
Democritos lebih sulit dilacak. Ada beberapa informasi yang mengatakan bahwa ia
pernah mengadakan perjalanan ke Mesir, Babilonia, Persia hingga Athena. Dampak
pemikirannya masih dapat ditemukan dalam pergulatan pemikiran zaman kita. Aliran
filsafatnya disebut atomisme.
Atomisme
adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa seluruh realitas terdiri dari
gugusan unsur-unsur terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Unsur terkecil
penyusun realitas itu diberi nama “atom” (a = tidak, dan tomos = terbagi).
Atom-atom ini tidak tertangkap pancaindera dan tidak memiliki kualitas,
misalnya panas atau manis. Namun atom-atom ini menempati ruang dan memiliki
massa. Atas dasar ajaran atomisme tersebut, Demokritos mengajarkan bahwa segala
sesuatu dapat dijelaskan dengan mengacu pada gerakan-gerakan atom yang
menyebabkan prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan. Kata
kekosongan harus ditekankan karena menururtnya atom-atom itu bergerak. Dan
gerakan memang mengandaikan adanya ruang kosong tempat atom bergerak.[33]
Sebagaimana geraknya titik-titik debu yang dapat kita lihat dalam berkas sinar
matahari di udara yang tidak berangin. Gerak itu terjadi karena akal, ia
terjadi secara mekanis. Seperti menggunakan pisau ketika menembus apel, di
dalam apel terdapat ruang kosong. Jika apel itu tidak mengandung ruang kosong,
tentu apel sangat keras dan tidak dapat dibelah secara fisik.[34]
Ia meneruskan gurunya bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk
realitas. Ato tersebut tidak dapat dibagi-bagi. Atom berasal dari bahasa Yunani
atomos: a berarti tidak dan tomos berarti terbagi. Atom juga dipandang sebagai
yang tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan dan tidak berubah. Yang terjadi
pada atom adalah gerak. Karena itu, Demokritos menyatakan bahwa “prinsip dasar
alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan”. Jika ada ruang kosong, maka atom
itu dapat bergerak. Atom-atom tersebut merupakan unsur terkecil yang membentuk
realitas. Ukurannya begitu kecil sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya. Atom
juga tidak memiliki kuantitas, seperti panas atau manis.[35]
Ajaran
Atomisme ini selanjutnya diterapkan oleh Democritos tentang proses pengenalan
dan tentang manusia yang bertolak dari keyakinannya bahwa setiap benda mengeluarkan
gambaran-gambaran kecil (ediola) yang tersusun dari gugusan atom-atom.
Gambaran-gambaran ini masuk ke dalam pancaindera, lalu disalurkan ke arah jiwa
yang juga terdiri dari atom-atom. Kita dapat melihat sesuatu karena atom-atom
dari gambaran sesuatu itu bersentuhan dengan atom-atom jiwa. Proses semacam ini
berlaku juga bagi semua jenis pengenalan inderawi lainnya.[36]
Pandangan
Democritos ini membawa konsekuensi besar bagi filsafat ilmu pengetahuan. Di
satu pihak, dengan menekankan juga aktivitas subjek dalam mengenali objek
(benda), ajaran Demokrito memperlihatkan adanya saling ketergantungan mutlak
antara subjek dan objek. Dengan kata lain, dalam proses pengenalan subjek dan
objek tidak dapat berdiri sendiri. Realitas tidak selalu objektif, terlepas
dari subjek, tetapi juga tidak bisa semata-mata subjektif tanpa ada hubungan
dengan objek. Di lain pihak, dengan ajarannya bahwa realitas terdiri dari
atom-atom yang luar biasa halusnya sehingga tidak dapat diserap panca indera,
Demokritos mengakui bahwa kita tidak dapat mengenali hakikat sejati suatu
benda. Yang dapat kita amati hanyalah gejala atau penampakan benda tersebut.
Ini sejalan dengan pandangannya bahwa jiwa manusia adalah atom-atom halus.
Atom-atom ini digerakkan oleh gambaran-gambaran kecil suatu benda (eidola), dan
dengan demikian muncul kesan-kesan inderawi atas benda tersebut.[37]
Ia juga membedakan adanya dua pengetahuan, yaitu pengetahuan indera yang keliru
dan pengetahuan budi yang benar.
12. Melissos
Menurut Bertens, Melissos menyatakan bahwa “yang ada
selalu ada dan akan tetap ada. Yang ada itu kekal, tidak terbatas, satu dan
selalu bergerak, tidak terhingga”. Jika “yang ada” itu terbatas di dalam ruang,
maka harus dikatakan bahwa di luar “yang ada” terdapat “yang tidak ada”. Itu
berarti “yang tidak ada” memang ada, sehingga premis keabadian “yang ada”
menjadi hilang. Karena itu, tidak mungkin “yang ada” itu terbatas dan menurut
ruang.[38]
Menurut David Sedley, Melissos mengatakan “yang ada”
itu satu, sehingga “yang ada” disebut juga “yang satu”. Argumentasi Melissos
adalah jika “yang ada” berjumlah lebih dari satu, maka ia tidak lagi tak
terbatas sebab ada batas antara satu dengan lainnya untuk berhubungan. Melissos
juga menyatakan bahwa “yang ada” pasti homogen. Jika “yang ada” bersifat
heterogen, maka pasti terdapat pluraluitas, sedangkan pluralitas berarti tidak
lagi satu. Terakhir, Melissos juga menyatakan bahwa “yang ada” itu tidak
berubah. Argumentasi terhadap ini berhubungan dengan sifat abadi. Dari “yang
ada”. Bila “yang ada” dapat berubah, maka ada kemungkinan ia tidak abadi.
Karena itu, pastilah “yang ada” itu tidak berubah.[39]
13. Leukippos
Ia adalah orang yang pertama kali mengajarkan tentang atom sebagai benda
terkecil. Atom ada selamanya dan tidak berubah. Atom adalah elemen yang tak
terbatas dan abadi, terus bergerak, serta memiliki bentuk yang junlahnya tak
terbatas. Atom inilah yang membentuk segala sesuatu yang ada. Selain itu,
atom-atom tersebut bersifat padat dan penuh.[40]
C. Perspektif Positivistik tentang Masyarakat
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada beberapa pelajaran
yang dapat diambil dari ketiganya, yakni tidak mempercayai lagi pada
pengetahuan yang berdasar mitos, legenda, kepercayaan dan agama, lalu
pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir dan mengamati serta asal
segala sesuatu terdiri dari satu hal yang tunggal.
Hasil penyelidikan atas
pemikiran ketiganya dapat dirangkum dalam tiga pernyataan sebagai berikut: (1)
Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, maka harus menggunakan satu
prinsip saja. (2) Alam semesta dikuasai oleh suatu hukum. Kejadian-kejadian
alam tidak terjadi secara kebetulan. (3) Alam semesta merupakan kosmos, yakni
dalam bahasa Yunani berarti dunia yang teratur sebagai lawan kata khaos yang
berarti dunia yang kecau.
No comments:
Post a Comment