SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pendidikan
Dosen
Pengampu : Drs.
Sabarudin, M.Si.
Disusun oleh :
Fauzul Murtafi’ah 13410052
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Orde baru secara harfiyah adalah masa yang baru yang menggantikan
masa kekuasaan orde lama. Namun secara politis orde baru diartikan suatu
masa untuk mengembangkan negara Republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang
sesuai dengan haluan negara sebagaimana yang terdalam dalam Undang-Undang Dasar
1945 serta falsafah negara pancasila secara murni dan konsekuen.
Perpindahan kekuasaaan orde lama kepada orde
baru ini dilakukan berdasar analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan
pemerintahan yang telah melenceng dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila
kekuasaan ini di teruskan maka tujuan dan cita-cita proklamasi kemerdekaan akan
jauh dari keberhasilan.[1] Pendidikan selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Penulis
akan membahas di dalam makalah ini mengenai “Sejarah Pendidikan pada Masa Orde
Baru”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa makna dari Orde Baru?
2.
Bagaimana sejarah
pendidikan pada masa orde baru?
3.
Bagaimana Pendidikan
Agama Islam pada Masa Orde Baru?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui makna dari Orde Baru
2.
Mengetahui sejarah pendidikan
pada masa orde baru
3.
Mengetahui Pendidikan Agama Islam
pada Masa Orde Baru
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Makna Orde Baru
Sejak
ditumpasnya peristiwa G.30 S/PKI pada tanggai 1 Oktober 1965, bangsa Indonesia
telah memasuki fase baruu yang diberi nama Orde Baru.
Orde
Baru adalah:
1.
Sikap mental yang positif untuk
menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD
1945.
2.
Memperjuangkan adanya suatu
masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupunspiritual melalui
pembangunan.
3.
Sikap mental mengabdi kepada
kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Dengan demikian, Orde Baru bukanlah
merupakan golongan tertentu, sebab Orde Baru bukan berupa pengelompokan fisik.
Perubahan Orde Lama (sebelum 30 September 1965) menjadi Orde Baru berlangsung
melalui kerja sama erat antar pihak ABRI atau Tentara dan Gerakan-Gerakan
Pemuda, yang disebut angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia). Dalam KAMI yang memegang peranan penting adalah Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) yang sangat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dengan Masyumi
dan Organisasi Islam lainnya. Sejak 1966, para mahasiswa ini mulai melakukan
demontrasi di jalan-jalan, sebagian secara spontan, sebagian lagi atas
perencanaan pihak lain. Mula-mula mereka memprotes segala macam penyalahgunaan
kekuasaan, harga yang meningkat, korupsi yang merajalela dan sebagainya. Dalam
bulan-bulan berikutnya kampanye tersebut berkembang menjadi protes terhadap
Soekarno, dengan cara penghinaan yang sebelumnya tidak terbayang akan dialamatkan
kepadanya.[2]
B.
Sejarah Pendidikan Pada Masa
Orde Baru
Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab II pasal 3,
dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk
membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang 1945. Pembentukan manusia Pancasila
sejati adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang
sudah banyak mendapat indoktrinasi Manipol USDEK pada zaman Orde Lama,
pemurnian semangat Pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru.[3]
Hal tersebut kemudian dikuatkan dalam pasal 4 ketetapan MPRS
nomor XXIIMPRS/1966 tersebut, selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan
harus memuat:
1.
Mempertinggi mental, moral,budi pekerti, dan memperkuat
keyakinan beragama.
2.
Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3.
Membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Ketetapan MPRS di atas menjadi penanda berubahnya pendidikan
nasional dari Orde Lama menuju Orde Baru. Setidaknya ada dual hal, yaitu
pembentukan manusia pancasialis sejati yang jelas dikaitkan oleh peristiwa
tragis pasca Gerakan 30 September atau 1 Oktober, ketika Orde Baru menuduh PKI
sebagai penghianat Pancasila karena ingin merubah Dasar Negara Pancasila
menjadi komunis. Kemudian, yang kedua adalah mengubah mental masyarakat yang
penuh doktrin-doktrin Manipol USDEK, yang merupakan kebijakan Soekarno. Jadi,
Orde Baru mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan jalan memutus pengaruh PKI
dan Soekarno, termasuk dalam hal ini bidang pendidikan.[4]
Selanjutnya,
TAP MPRS tersebut menyatakan agar di perguruan-perguruan tinggi diberikan
kebebasan mimbar/ilmiah seluas-luasnya yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan
falsafah negara, Pancasila. Pemerintah lebih memerhatikan perkembangan gerakan
pramuka dan memerikan prioritas yang diperlukan dengan meninjau kembali
keputusan Presiden tentang Pembentukan Organisasi Gerakan Pramuka agar
disesuaikan dengan tingkat perkembangan sekarang ini.
Selain
itu, lembaga pemerintah dalam bidang pendidikan disederhanakan, baik
mengenaijumlahnya maupun strukturnya. TAP MPRS tersebut juga melihat keadaan
dunia pendidikan pada masa-masa yang akan datang dengan adanya kekurangan
tenaga pengajar, antara lain melalui Undang-Undang Wajib Belajar. Menurut
pemerintahan Orde Baru, perlu menyelenggarakan pendidikan rehabilitas kesadaran
berideologi bagi mereka yang pernah menyeleweng terhadap pancasila.
Pada
28-30 April 1969, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk
mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional yang tengah terjadi saat
itu. Di dalam pertemuan tersebut,
parapakar mengambil kesimpulan bahwa perkembangan pendidikan ditentukan oleh
faktor-faktor intern. Kedua faktor tersebut harus diidentifikasi secara cermat,
baru kemudian disusun suatu strategi serta program penanggulangannya.[5]
Pada
waktu itu, disadari bahwa pemerintah belum mempunyai strategi umum yang
menyeluruh dan jelas yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.
Badan-badan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan tidak
mempunyai otoritas yang jelas. Artinya, tanggung jawab dan fungsi badan-badan
tersebut simpang siur sehingga arahnya kurang jelas dan efisiensinya tentunya
rendah.
2.
Para penyelenggara pendidikan berlumlah profesional. Artinya,
tingkat kemampuan parapenyelenggara pendidikan belum sanggup melaksanakan
proses pendidikan secara profesional. Bukan hanya karena jumlahnya yang masih
kurangmelainkan pada masa sebelumnya banyak dicampuri oleh unsur-unsur politik.
3.
Pelaksanaan pendidikan terlalu di bawah pengaruh politik
sehingga proses pendidikan yang sebenarnya hal kedua, sedangkan praktik politik
praktis menjadi sangat dominan dalam lingkungan kehidupan pendidikan nasional.
4.
Badan-badan penyelenggara penndidikan yang tidak profesional
tersebut lebih diperparahh lagi karena tidak diperkuat oleh tim-tim peneliti.
Hal ini disebabkan pada masa itu politik adlah panglima dan profesionalisme
merupakan hal nomor dua. Demikian pula jumlah pakar-pakar pendidikan pada waktu
itu masih sangat terbatas.
Diadakannya
konferensi cipayung tersebut memiliki tiga tujuan. Pertama, mengidentifikasikan
semua persoalan di bidang pendidikan. Kedua, menyusun suatu prioritas dari
berbagai persoalan tersebut untuk dipecahkan atau diperhatikan sesuai dengan
arah pembangunan nasional. Ketiga, mencari alternatif pemecahan.[6]
Hasil
identifikasi masalah-masalah pendidikan dari Konferensi Cipayung menggolongkan
masalah tersebut dalam enam kategori sebagai berikut:
1.
Pendidikan luar sekolah.
2.
Kurikulum sekolah
dasar.
3.
Kurikulum sekolah menengah.
4.
Kurikulum pendidikan tinggi.
5.
Pembiayaan pendidikan.
6.
Sarana pendidikan.
Salah
satu hasil konferensi Cipayung yang terkenal itu ialah lahirnya Proyek
Penilaian Nasional Pendidikan pada 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud Tanggal 26
Mei 1969 Nomor 033/1969. Isi SK tersebut ialah dalam jangka waktu dua tahun
(kemudian diubah menjadi tiga tahun) PPNP harus sudah berhasil menyusun
strategi pendidikan nasional.
Melalui
Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) diharapkan dihasilnya akan
dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tanggal 18
Oktober 1969. Menurut catatan, badan pengembangan inimerupakan institusi
pertama didirikan dalam lingkungan pemerintahan yang kemudian diikuti oleh
badan-badan sejenis di departemen-departemen lain.
Tugas
dari Badan Pengembangan Pendidikan adalah sebagai berikut:
1.
Mengoordinasikan serta menyelenggarakan penelitian dalam
bidang pendidikan.
2.
Mengadakan eksperimen-eksperimen dan proyek-proyek perintis
dalam rangka pengembangan pendidikan.
3.
Menyiapkan rencana, program, kebijaksanaan untuk Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. [7]
Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde Baru diidentikan
dengan ideologi atau pembangunan. Begitu pula arah dan kebijakan pendidikan
disesuaikan dengan geraknya pembangunan. Di dalam mengaktualisasikan
pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memiliki program pembangunan, yang
dikenal dengan istilah Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Persoalan mendasar dari pelita I adalah bangsa kita dalam kondisi kekurangan
tenaga-tenaga terampil. Tenaga kerja dari lulusan pendidikan kita saat itu
menunjukkan bahwalebih dari setengah angkatan kerjanya mempunyai latar belakang
pendidikan di bawah tamatan SD. Oleh sebab itu, untuk mengatasi persoalan
tersebut, pemerintah memberikan prioritas tinggi dalam mengembangkan pendidikan
kejuruan sejak pelita I. sekolah-sekolah kejuruan dibenahi dan ditingkatkan
mutunya dengan pengadaan guru serta instruktur yang berwenang, pengadaan
alat-alat bantu belajar dan mengajar, fasilitas-fasilitas praktik yang sesuai
sehingga diperoleh lulusan sekolah-sekolah kejuruan yang bermutu.
Di penghujung akhir Pelita I, Indonesia memperoleh rezeki
yang biasanya disebut wind fall money. Adanya rezeki “nomplok” tersebut
disebabkan oleh karena naiknya harga minyak bumi pada pertengahan dekade
1970-an. Dengan adanya kenaikan harga minyak bumi per barel dari US$3,37
menjadi lebih tiga kali lipat, pemerintah mendapat dana tambahan untuk
mempercepat beberapa sektor pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, dan
sarana-sarana fisik dasar lainnya yang diperlukan untuk lebih mempercepat
pembangunan nasional.[8]
Dana tersebut dimanfaatkan untuk mempercepat pemenuhan apa
yang disebut basic human needs yang menjadi mode pemikiran pembangunan pada
dekade 1970-an. Di dalam bidang pendidikan, misalnya, dana tersebut digunakan
untuk pemerataan pendidikan di tingkat sekolah dasaar. Maka, muncullah apa yang
disebut Instruksi Presiden untuk pembangunan sarana pendidikan sekolah dasar.
Seperti kita ketahui, pada tahun akhir pelita I telah dibangun sejumlaj sekolah
dasar baru sehingga dapat menampung siswa baru sejumlah 720.000 orang.[9]
Di dalam Pelita I rumusan kebijakan pendidikan nasional
pemerintah saat itu dihubungkan dengan persoalan ketanagakerjaan yang tentunya
ada kaitannya dengan pembangunan. Rumusan tersebut ialah “Kebijakan terhadap
penyesuaian dari persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan untuk pembangunan
ekonomi harus ditujukan ke arah pembaharuan sistem pendidikan dari tingkat
Sekolah Daasar sampai ke Perguruan Tinggi. Peninjauan kurikulum akan diadakan
sehingga terdapat kesempatan untuk mendapatkan pelajaran praktik yang
memungkinkan dipelajarinya segi praktis dari pengetahuan yang diikutinya.”
Selanjutnya,
dirumuskan pula langkah-langkah jangka panjang mewujudkan keterkaitan antara
pendidikan dan ketenagakerjaan:
1.
Mengadakan peraturan untuk mengawasi atau membatasi pembukaan
sekolah-sekolah menengah umum dan Fakultas Sosial Politik dan memperbanyak
sekolah-sekolah kejuruan, mendorong pengembangan dari fakultas untuk ilmu
pengetahuan eksakta.
2.
Meratakan dasar bagi pengetahuan sistem pendidikan dan
penyempurnaan kurikulum yang diarahkan kepada pengetahuan-pengetahuan praktis
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas,seperti alat-alat, laboratorium untuk praktik, dan
peralatan yang memungkinkan pelajaran-pelajaran praktik.
3.
Memperluas pendidikan guru dan keguruan tinggi serta
meningkatkan mutu kesanggupan mereka.
4.
Dalam bidang perguruan tinggi, lebih diutamakan pertanian,
teknik, ekonomi, kedokteran, dan keguruan.[10]
Dunia
pendidikan dan para peserta didik setelah lulus harus berpartisipasi bagi
kemajuan ekonomi dan pembangunan bangsa yang sudah ditafsirkan pemerintah.
Pada
keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional
pendidikan dan latihan, serta penjabarannya melalui Instruksi Presiden No. 15
Tahun 1974 tentang pokok-pokok pelaksanaaan pembinaan pendiidikan dan latihan.[11]
Pada pelita II pada pidato pertanggung jwaban
presiden pada 11 Maret 1978 tentang pendidikan, generasi muda, dan kebudayaan
nasional, yaitu, “Pembangunan di bidang pendidikan, sebagaimana ditentukan
dalan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Hal
ini diusahakan antara lain dengan menggariskan serangkaian kebijakan pokok
sebagai berikut:
1.
Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar dengan laju
pertumbuhan kelompok-kelompok usia anak didik dan lulusan yang berbakat yang
mencari tempat di tinfkat pendidikan yang lebih tinggi.
2.
Pemeliharaan dan peningkatan mutu pendidikan pada semua
tingkat dan jenis pendidikan.
3.
Pengembangan sistem pendidikan yang lebih serasi (relevan)
dengan pembangunan.
4.
Pemantapan pendidikan di luar sistem sekolah (pendidikan
non-formal) dan usaha-usaha pembinaan generasi muda.
5.
Pengembangan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan
sehingga dapat diandalkan untuk melaksanakan pembaruan pendidikan.[12]
Pada
1973 lahir GBHN yang pertama sebagai Keputusan MPR No. II/MPR/1973. Berdasarkan
TAP MPR inilah, disusun Kurikulum 1975. Kurikulum-kurikulum sebelumnya disusun
berdasarkan Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950,
kemudian mendasarkannya kepada TAP MPRS No. II Tahun 1960 dan
keputusan-keputusan lainnya. Dengan sendirinya, di masa Orde Baru memerlukan
kurikulum yang sesuai dengan jiwa pembangunan masa lalu.
Kurikulum
1975 didasarkan pada TAP MPR II/MPR/1973, kurikulum tersebut juga menampung
hasil-hasil percobaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran waktu itu. Untuk
pertama kalinya kurikulum tersebut didasarkan pada tujuan pendidikan yang
jelas. Dari tujuan tersebut dijabarkan tujuan-tujuan-tujuan yang ingin dicapai,
yaitu tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, dan berbagai
rincian lainnya sehingga jelas apa yang akan dicapai melalui kurikulum
tersebut.
Kurikulum
1975 bersifat sentralistis. Artinya kurikulum tersebut disusun dan diasumsikan
bahwa semua pelaksana, yaitu para guru di sekolah-sekolah sampai ke
daerah-daerah terpencil akan mengerti dengan sendirinya tujuan serta
pelaksanaan kurikulum tersebut. Seharusnya, para pelaksana kurikulum (guru-guru
yang ada di depan kelas) perlu dipersiapkan dulu.[13]
Persoalannya
bukannya para guru terseebut memiliki buku-buku kurikulum tersebut atau tidak,
melainkan yang lebih penting adalah mengerti apa yang diajarkan dan mengapa
diajarkan serta bagaimana mengajarkannya agar berhasil. Selain itu, setiap
usaha pembaharuan pendidikan nasional saat itu yang tidak mengikutsertakan para
guru sejak awal atau tanpa memberdayakan guru akan mengalami kegagalan. Para
guru bukanlah sekedar objek pembaharuan, melainkan subjek pembaharuan atau
pelaku pembaharuan tersebut.[14]
Untuk
pelaksanaan kurikulum 1975 tersebut, telah dipersiapkan buku-buku pelajaran
pokok maupun buku-buku pelajaran lainnya. Boleh dikatakan sejak pelita II,
pengadaan buku, khususnya perbukuan untuk buku-buku teks, mulai diproduksi
dalam jumlah yang cukup besar.
Pelita
II, pemerintah melaksanakan program pengadaan buku teks sendiri, baik buku teks
utama yang wajib dipakai untuk keperluan proses belajaar mengajar dalam
bidang-bidang tertentu maupun bacaan.
Mata
pelajaran yang diprioritaskan pengadaan buku teksnya untuk sekolah dasar ialah
Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk tingkat sekolah lanjutan (SMP
dan SMA), pengadaan buku teksnya utama diprioritaskan pada Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris.[15]
Di
dalam Pelita III, rumusan pembangunan sarana pendidikan Sekolah Dasar adalah
“Titik berat program pendidikan diletakkan pada perluasan pendidikan dasar
dalam rangka mewujudkan pelaksanaan wajib belajar yang sekaligus memberikan
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan serta peningkatan
pendidikan teknik dan kejuruan pada semua tingkat untuk dapat menghasilkan
anggota-anggota masyarakat yang memiliki keccakapan sebagai tenaga-tenaga
pembangunan.”[16]
Di
dalam Pelita IV dirumuskan sebagai berikut, “Titik beratpembangunan pendidikan
diletakkan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam rangka
mewujudkan dan menetapkan pelaksanaan wajib belajar, serta meningkatkan
perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah.”[17]
Pada
masa ini lahir pula kurikulum baru, tepatnya di tahun 1984. Kurikulum ini
dilatarbelakangi oleh kondisi melajunya pembangunan nasional. Kurikulum ini
telah melahirkan dimensi-dimensi baru dalam pembangunan, juga dalam pendidikan
nasional.
Kurikulum
1984 sebenarnya dapt dikatakan merupakan penyempurna dari kurikulum 1975.
Dengan masukan yang sangat berarti dari hasil komisi pembaharuan pendidikan
nasional, begitu pula dengan TAP MPR No. IV/1983, lahirlah kurikulum 1984
dengan ciri menonjol menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
·
Apa yang akan dikerjakan?
·
Mengapa diajarkan?
·
Bagaimana diajarkan?
Pertanyaan fundamental ini lebih mengarahkan Kurikulum
1975 sebab di dalam kurikulum baru ini harus jelas perumusannya.
Kurikulum
1984 mempunyai kelemahan-kelemahan umum, yaitu terlalu sentralistis sehingga
memerlukan penyesuaian-penyesuaian di daerah-daerah. Namun sayangnya, kemampuan
daerah untuk melengkapi kurikulum tersebut sangat terbatas, demikian pula para
guru, para penilik, dan pejabat-pejabat lainnya tidak dipersiapkan secara
menyeluruh dan matang untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Pada
TAP MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN yang berkaitan dengan kebijakan
pendidikan, menyatakan antara lain, “Titik pembangunan pendidikan diletakkan
pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan
kemampuan belajar pada jenjang pendidikan menengah tingkat pertama.
Pada
era ini, berhasil dibentuk UU Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU No. 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan di dalam bab III pasal 6,
“setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti
pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang
sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan
tamatan pendidikan dasar.” Di dalam UU No. 2 tahun 1989 Pasal 30, ayat (3)
dikemukakan bahwa tenaga kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum
dalam menjalankan tugas.[18]
Pendidikan
di tahu 1990-an, yaitu Pelita V dan VI sampai presiden soeharto mengundurkan
diri pada 20 Mei 1998, sebagai tanda berakhirnya Orde Baru berganti menjadi era
Orde Reformasi.
Di
dalam Repelita V prioritas pembangunan pendidikan ditekankan pada pendidikan
mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan. Selain itu, ditekankan pula
pentingnya perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam
rangka persiapan perluasan wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat
pertama. Agar pendidikan tetap mampu menghasilkan manusia berkualitas yang
berpegang teguh pada kepribadian bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi tetap diimbangi dengan nilai-nilai dasar moral, budaya, dan
kemanusiaan.
Untuk
itu pendidikan agama, pendidikan pancasila, termasuk pendidikan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasil (P4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dilanjutkan dan makin ditingkatkan
di semua jenis dan jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai
dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Perguruan swasta sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional terus didorong untuk berperan sebagai
mitra pemerintah dalam pendidikan.
Program-program
pembangunan pendidikan dan pengembangan generasi muda meliputi:
1.
Pembinaan pendidikan dasar,
2.
Pembinaan pendidikan menengah tingkat pertama,
3.
Pembinaan pendidikan menengah tingkat atas,
4.
Pembinaan pendidikan tinggi,
5.
Pembinaan tenaga kependidikan,
6.
Pembinaan pendidikan masyarakat,
7.
Pembinaan generasi muda,
8.
Pembinaan berolahraga,
9.
Pembinaan peranan wanita,
10. Pembinaan pendidikan kedinasan,
11. Pengembangan sistem pendidikan,
12. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan fasilitas pendidikan.[19]
Pada
Undang-Undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dirasa perlu menyusun suatu Kurikulum 1984. Usaha yang besar ini,
yang memiliki suatu kurikulum yang berdasarkan UU baru yang dilahirkan dalam
Orde Baru, merupakan suatu prestasi yang besar. Kurikulum baru tersebut untuk
SD sampai sekolah menengah telah dapat dirampungkan dan diberlakukan mulai
tahun ajaran 1994/1995 secara bertahap. Dimulai pada ajaran 1994.1995,
kurikulum 1994 diberlakukan untuk kelas 1 dan kelas 4 SD, kelas 1 SMP, dan
kelas 1 SMA. Dengan demikian, di dalam jangka waktu tiga tahun seluruh
Kurikulum 1994 itu telah dapat dilaksanakan.
Peran
para pelaku dan intelektual pendidikan Indonesia ditunjukkan kembali dengan
mencoba mengkritisi kondisi pendidikan, terutama berkaitan dengan profesi para
pendidik, misalnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).[20]
Di
dalam GBHN 1993, telah digariskan sasaran bidang pembangunan jangka panjang II.
Dalam hal bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan dirumuskan
sebagai berikut, “Terwujudnya kehidupan
masyarakat yang makin sejahtera lahir batin secara adil dan merata,
terselenggaranya pendidikan nasional dan pelayanan kesehatan yang makin bermutu
dan merata yang mampu mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat cerdas, patriotik,
berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional, semakin mantapnya budaya
bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat
manusia Indonesia dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.”[21]
Kurikulum 1994 ini lahir memiliki
tujuan, yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara,
dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti
pendidikan menengah (PP. No. 28 Tahun 1990).[22]
C.
Keberadaan Pendidikan Agama
Islam pada Masa Orde Baru
Sejak
tahun 1966 telah terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik menyangkut
kehidupan sosial, agama maupun politik. Pemerintah Orde Baru bertekad
sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan
konsekuen. Pemerintah dan rakyat membangun manusia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya. Berdasarkan agama khususnya, semakin memperoleh tempat
yang kuat dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada
umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga
sekarang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib
di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan
agama sudah dikembangkan sejak Taman Kanak-Kanak (Bab V pasal 9 ayat I PP Nomor
27 Tahun 1990 dalam UU Nomor 2 Tahun 1989).[23]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Simpulan
Orde
Baru adalah Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala
penyeleweengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, memperjuangkan adanya suatu
masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupunspiritual melalui
pembangunan dan sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab II pasal 3,
dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk
membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang 1945. Pembentukan manusia Pancasila
sejati adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang
sudah banyak mendapat indoktrinasi Manipol USDEK pada zaman Orde Lama,
pemurnian semangat Pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru
Dalam
sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga sekarang, selalu
ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di
sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama
sudah dikembangkan sejak Taman Kanak-Kanak (Bab V pasal 9 ayat I PP Nomor 27
Tahun 1990 dalam UU Nomor 2 Tahun 1989).
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustafa dan
Aly, Abdullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Rifa’I, Muhammad.
2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Rukiati, Enung K dkk. Sejarah
Pendidikan Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia Bandung.
[1]Enung K Rukiati, dkk. Sejarah
Pendidikan Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia Bandung), hlm. 65.
[2] A. Mustafa dan
Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), hlm.137-138.
[3] Muhammad
Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 193-194.
[5] Ibid,
hlm. 194-185.
[6] Ibid,
hlm. 195
[7] Ibid,
hlm. 197.
[8] Ibid,
hlm 198.
[9] Ibid,
hlm. 198-199.
[10] Ibid,
hlm. 199-200.
[11] Ibid,
hlm. 200.
[12] Ibid,
hlm. 206-207.
[13] Ibid,
hlm. 212.
[14] Ibid,
hlm. 212.
[15] Ibid,
215.
[16] Ibid,
hlm. 218.
[17] Ibid,
hlm. 219.
[18] Ibid,
hlm. 230-231.
[19] Ibid,
hlm. 237
[20] Ibid,
hlm 239.
[21] Ibid,
hlm. 241-242.
[22] Ibid,
hlm. 245.
[23] A. Mustafa dan
Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), hlm. 140-141.
makasih ini sangat membantu :)
ReplyDeletesama-sama
ReplyDelete