KITAB
PERTAMA
Didalam lima
qo’idah yang dituturkan oleh para sahabat yang mana sesungguhnya seluruh
permasalahan fiqih kembali padanya. Yaitu :
1.
Al umuru bimaqoshidiha
2.
Al yaqinu laa yuzaalu bisysyaki
3.
Al masyaqqotu tajlibu at taysiro
4.
Ad dlororu yuzalu
5.
Al ‘adatu muhakkamatu
Qoidah
Pertama : Al umuru bimaqoshidiha
Hukum asalnya
qoidah yaitu beberapa hadits :
1.
Sabda Rosulullah SAW : Innama al a’malu binniyati. Adapun
hadits tersebut shohih dan masyhur yang dikeluarkan oleh 6 Imam dan lainnya.
2.
Hadits Annas : Laa ‘amala liman laa niyata lahu
3.
Apa yang disanadkan oleh Asy Syihabi dari haditsnya : adapun niatnya seorang mukmin itu lebih baik
daripada amalnya
4.
Dari hadits Sa’id bin Abi Waqash : Sesungguhnya kamu tidak
dii’tikadkan pada nafaqoh, sedangkan kamu mengharapkan dengannya bertemu dengan
Allah kecuali diberi balasan didalam nafaqoh tersebut hingga kamu memberikannya
kepada istrimu
5.
Dari hadits Abi Dzar : barang siapa yang berada pada tempat
tidurnya dan berniat untuk bangun sholat malam maka orang tersebut mengalahkan
matanya sehingga memasuki waktu subuh, maka dicatatlah niatnya tersebut
(zonk, help!)
Pembahasan
para ulama’ mengenai niat
Pembahasan
pertama : maksud niat
Maksud yang
paling penting dari niat adalah :
1.
Membedakan ibadah dengan kebiasaan
2.
Membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lainnya
Misalnya :
Maksud yang pertama :
-
Duduk didalam masjid karena beristirahat atau karena beri’tikaf
-
Menahan diri dari makan karena diet atau berobat atau adanya niat
lainnya
Maksud yang
kedua :
-
Sholat, puasa, mandi, wudlu dan sebagainya ada yang karena
kewajiban atau sunnah
-
Tayamum terkadang karena bersuci dari hadats atau bersuci dari
junub adapun tayamum menggambarkan salah
satunya. Maka disyaratkan untuk berniat didalam menggambarkan yang lainnya karena
untuk membedakan tingkatan ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Dan kemudian
diurutkan dengan perkara-perkara berikut :
1.
Tidak dipersyaratkan niat didalam ibadah yang tidak ada adat
didalamnya ketika tidak menyerupai dengan yang lainnya, seperti beriman kepada
Allaah dan ma’rifat dan khouf dan roja’ dan niat membaca Al Qur’an dan berdzikir.
Kecuali jika dilakukan karena adanya nadzar.
Adapun
perbuatan yang ditinggalkan seperti meninggalkan riya’ menjauhi maksiat dan
yang lainnya maka tidak dibebankan niat karena hasilnya maksud dari
perbuatan-perbuatan tersebut.
Adapun
menghilangkan najis, memandikan mayat,
keluar dari sholat dan perkara-perkara yang menyerupai hal tersebut,
sesungguhnya dala persyaratan niatnya masih dalam perdebatan, adapun menurut
qoul yang lebih shohih didalamnya tidak dipersyaratkan niat.
2.
Dipersyaratkan ta’yin didalam perkara yang menyerupai perkara yang
lainnya. Dalil yang menunjukkan hal tersbut adalah hadits rosulullah SAW :
“Sesungguhnya bagi setiap perkara pada niatnya”dan demikianlah dipersyaratkan
ta’yin didalam ibadah fardlu, seperti niat sholat dzuhur atau ashar, dan
didalam sholat sunnah ghoiru mutlaq seperti rowatib, maka nyatakanlah sholat
rowatib itu dengan bersandarkan pada sholat dzuhur misalnya, qobliyah ataupun
ba’diyahnya, adapun inilah yang dikatakan “perkara yang menyerupai”, seperti
bersuci, haji dan umroh, dan lainya. Sesungguhnya hal itu tidak dipersyaratkan
ta’yin, karena sesungguhnya penentuan yang lainnya dipertukarkan dengan yang
lain, itulah yang dikatakan “perkara lainnya”.
Telah keluar sebagian qo’idah :
1.
Perkara yang tidak dipersyaratkan didalamnya ta’yin secara global maupun
terperinci, ketika salah menentukannya, tidak berbahaya, misalnya menentukan
tempat sholat dan waktunya
2.
Perkara yang dipersyaratkan ta’yin didalamnya dan salah maka batal,
seperti kesalahan dari puasa ke sholat
3.
Perkara yang dipersyaratkan ta’ridl (jelas) secara global tidak
secara terperinci ketika salah menentukan maka berbahaya. Berikut inilah cabang
pembahasannya :
-
Niat puasa pada hari selasa dimalam senin, maka tidak sah
-
Ditetapkan mengqodlo puasa hari pertama bulan romadlon kemudian
niat mengqodlo puasa hari kedua bulan romadlon, maka tidak diterima hal yang
demikian menurut kaum yang lebih shohih.
Dan dikecualikan dari yang telah dijelaskan di atas, yaitu :
Berniat menghilangkan hadas karena tidur, padahal hadasnya bukan
karena tidur atau niat menghilangkan hadas karena jinabat jima’ dan keluar
mani, lalu dia salah, maka tidak membahayakan dan wudhu serta mandinya tetap
sah. Jika seseorang yang berhadas berniat menghilangkan hadas besar dan lupa
maka sah wudhunya seperti yang telah dijelaskan dalam syarhul madzhab. Apabila
menyatakan tentang sholat yang keluar darinya (sholat) – atas orang yang
mengatakan itu wajib – kemudian salah maka tidak berbahaya tapi harus melakukan
sujud sahwi dan salam dua kali.
“PERINGATAN”
Tidak
berbahaya salah dalam keyakinan, bukan dalam ta’yin seperti apabila orang
berniat di malam senin ingin puasa besok, tp dia berpikir bahwa dbesok adalah
hari selasa maka puasanya sah.
Disyaratkan menyatakan kepada ibadah fardhiyyah dan menentukannya.
Bahwa ibadah yang disyaratkan menyatakan ada 3 macam :
1)
Sesuatu yang disyaratkan di dalamnya tanpa ada perbedaan pendapat,
yaitu kifarot.
2)
Sesuatu yang tidak disyaratkan di dalamnya tanpa ada perbedaan
pendapat, yaitu haji, umroh, dan jama’ah.
3)
Sesuatu yang disyaratkan di dalamnya menurut qoul yang lebih
shohih, yaitu sholat, mandi, zakat dengan lafadz, dan khitbah.
Disyaratkan
menjelaskan adha’ atau qodho di dalam sholat itu ada 4 pendapat :
1)
Disyaratkan keduanya, karena melaksanakan fardhu yang tepat di
waktunya berbeda dengan fardhu yang menyusuli sholat yang sudah lewat.
2)
Disyaratkan niat qodho tanpa adha’ karena fardhu yang adha’ itu
dibatasi dengan waktu.
3)
Disyaratkan niat adha’ dalam ibadah yang mu’adda’ (yang bersifat
adha’) jika orang tersebut adalah orang yang kepotan sholat,
4)
Tidak disyaratkan meniatkan adha’ ataupun qodho dan itu sah.
Adapun ibadah yang tidak disifati dengan adha’ ataupun qodho dan
perkara yang memiliki waktu yang terbatas tetapi tidak menerima qodho seperti
sholat jum’at maka ibadah-ibadah tersebut tidak membutuhkan niat adha’ atau
qodho.
3.
Ikhlas. Maka tidak sah niat yang disertai persekutuan.
Perkataan ulama tentang ikhlas :
1)
Menurut sebagian ulama : ikhlas sendiri adalah niat.
2)
Menurut imam Ghozali ikhlas adalah syarat sah niat.
Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah, yakni :
Untuk membedakan antara ibadah dan perbuatn biasa, misal : antara
mandi biasa yang setiap hari kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub. Yang
membedakannya adalah niat.
Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain.
Niat sajalah yang mebedakan antara mandi untuk menghindari jum’atan dengan
mandi karena akan ihram. Kaidah ini bersumber dari hadits yang terkenal: انّما الأعمل بالنيات “Segala perbuatan
itu hanyalah dengan niat”.
Menurut Ulama ahli Tahqiq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga
seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqih telah tercakup
dalam hadits ini.
Sebab pebuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yakni :
dengan hati, ucapan, tindakan. Imam Shuyuti telah membagi tentang menyekutukan
niat kedalam beberapa bagian :
1.
Seseorang menyatukan dua niat yang berbeda, niat yang pertama
adalah untuk ibadah sedangkan yang kedua niat untuk selain ibadah.
Contoh:
seseorang menyembelih hewan dengan niat karna Allah dan disertai niat karna
selain Allah, maka hewan qurban tersebut dihukumi haram.
2.
Menyatukan niat ibadah fardu dengan ibadah sunnah.
Dalam kitab qawaid fiqhiyyah terbagi dalam 3 bagian :
a.
Perkara/ibadah yang tidak ada hukum di dalamnya (kedua ibadahnya
dihukumi batal). Contoh : membarengi shalat fardu dengan shalat tahiyatul
masjid.
b.
Perkara/ibadah yang menghasilkan ibadah fardu saja. Contoh :
membarengi shalat ﻓﻭﺍﺌﺖ
di malam bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih.
c.
Perkara/ibadah yang menghasilkan ibadah yang sunnah saja. Contoh :
seseorang mengeluarkan uang 5 dirham dengan niat untuk zakat (bukan pada waktu
berzakat) dan shadaqah, maka yang sah adalah niat untuk bershadaqah.
3.
Menyatukan niat ibadah fardu dengan ibadah fardu lainnya tidak di
bolehkan kecuali 2 perkara : Haji dan umroh Mandi dan wudlu.
4.
Menyatukan dua niat, dengan niat yang pertama ialah untuk ibadah
sunnah dan yang kedua juga niat untuk ibadah sunnah lainnya, mutlak tidak
diperbolehkan. Misalnya shalat sunnah Duha dengan (qada) shalat sunnah fajar.
Pembahasan kedua : waktu niat
Asal waktu niat itu diawal pekerjaan ibadah atau lainya ibadah
seperti takbiratul ikhram dalam sholat, membasuh wajah dalam wudhu atau selain
wudhu, menyindir dalam talak dan niat mengecualikan didalam sumpah. Dan keluar dari hal itu, boleh dan sah
mendahulukan niat sebelum melakukan ibadah beberapa contoh :
1.
Puasa boleh mendahulukan niat di awal waktu, tetapi tetap wajib
untuk niat. Jika seseorang niat puasa bersama naiknya fajar maka tidak sah.
2.
Zakat sah dahulukan niat sebelum menyerahkan kepada fakir miskin
karena kesukaran.
3.
Niat menjamak sholat, maka jika niat di awal dan tidak tampak,
boleh niat di tengah-tengah.
4.
Niat menyembelih kurban itu boleh di niat diawal dan tidak wajib
menyembelih berbarengan dengan niat.
Pembahasan ketiga : tempat niat
Asal tempat niat itu di hati. Karena hakikat nianya niat itu mutlak
dan itu berhubungan dengan pekerjaan.
Dan hasil dari itu ada dua :
1.
Sesungguhnya kelakuan itu tidak cukup melafadhkan dengan lisan
tanpa niat di hati. cabang dari hal itu, misalkan apa yang diucapkan oleh lisan berbeda dengan apa yang diniatkan di
hati, yang dikira ialah apa yang diniatkan dalam hati. Jika seseorang niat
dalam hati sholat dzuhur sedangkan di lisan sholat ashar, yang dikira adalah apa yang niatkan bukan di lafadzkan.
Misal sesorang niat wudhu dalam hati tapi di lisan untuk menyejukan tubuh maka
wudhunya sah. Dan jika terkeluar dari mulut lafadz sumpah tanpa ada niat maka
tidak ada perjanjian dan tidak ada
tanggungan kafarot.
2.
Tidak diisyaratkan
melafadzkan dengan apa yang diiniatkan yaitu :
·
Jika seseorang yang membersihkan tanah, niat untuk menjadikan
masjid maka akan jadi masjid dengan niat tersebut
·
Sesorang yang bersumpah tidak akan memberi salam kepada zayd
kemudian memberi salam dalam masjidyang ada zayd dan ia berniat mengecualikanya
dari zayd maka tidak akan dikenakan kaffarah.
Dikecualikan dari persoalan berkaitan lafadz beberapa masalah yaitu
disayaratkan melafadzkan apa yang diniatkan :
1.
Jika niat nadzhar atau talak dengan hati dan tidak melafadzkan,
tidak berlaku nadzhar dan tidak dikira sebagai nadzar.
2.
Jika membeli kambing dengan niat menjadikan sebagai korban tidak
dianggap sebagai binatang korban kecuali setelah dilafadzkan.
3.
Jika seseorang niat berbuat maksiat dan tidak melakukanya atau tidak melafadzkanya maka tidak dosa.
Pembahasn keempat : Syarat-syarat niat
Syarat-syarat niat :
1.
Islam, maka tidak sah ibadah orang kafir, kecuali :
a.
Perempuan kafir kitabi, sah mandi wajibnya perempuan kafir kitabi
dari haid sehingga halal untuk melakukan hubungan intim.
b.
Niat membayar dendanya orang kafir
c.
Zakatnya orang yang keluar dari islam sesaat sebelum keluar dari
islam.
2.
Tamyiz. Maka tidak sah jika anak-anak dan orang gila. Kecuali :
a.
Anak kecil yang diniatkan orang tuanya untuk berihram
b.
Orang gila yang diniatkan suaminya untuk mandi wajib dari haid maka
sah niatnya
3.
Mengerti apa yang diniati. Maka tidak sah ibadah seseorang jika dia
tidak mengetahui fardu nya wudlu dan sholat misalnya.
4.
Tidak adanya perkara yang meniadakan niat.
Adapun perkara yang meniadakan niat :
a.
Terputusnya niat
Contoh :
-
Apabila ada seseorang di tengah tengah sholat dalam hatunya niat
memutus sholat, meskipun tidak ada gerakan yang membatalkan sholat maka sholat
batal
-
Apabila ada seseorang niat memutuskan jamaah maka jamaahnya tidak
sah tapi sholatnya sah.
Kecuali
-
Apabila ada seseorang yang niat memutuskan puasa tapi tidak makan
dan tidak minum maka puasanya tidak batal.
-
Apabila ada orang yang niat jima dalam keadaan puasa, tetapi dia
tidak melakukannya maka puasanya tidak batal.
b.
Tidak ada kemampuan terhadap yang diniati.
Contoh :
-
Seseorang dengan wudlunya berniat untuk melakukan sholat dan tidak
melakukan sholat dalam satu waktu maka tidak sah wudlunya.
-
Seseorang yang dengan wudlunya berniat melakukan solat ditempat yang
najis maka menurut Imam Nawawi dalam syarah muhadhab sebaiknya wudlunya tidak
sah.
-
Seseorang berniat dengan wudlunya melakukan sholat di Makkah tetapi
dia sholat di jawa maka tidak sah wudlunya.
c.
Bingung atau tidak adanya kemantapan.
Contoh :
-
Apabila ada orang ragu-ragu
apakah membatalkan sholatnya atau tidak ataupun menggantungkan membatalkan
sjolat dengan sesuatu maka eketika itu batal sholatnya. Misalnya : kalau nanti
Hujan maka saya batalkan sholat.
-
Ragu apakah dia akan mengqoshor sholat atau tidak maka tidak
mengqhoshor.
Dari
contoh diatas dapat dipahami bahwa seseatu yang diragukan maka diambil hukum
yang ragu dan itu tidak sah. Akan tetapi ada bentuk yang sah ketika hal
tersebut dalam keragu-raguan.
Contoh :
-
Ketika dia punya tanggungan sholat qodlo, kemudian dia lupa sholat
yang harus dia qodlo itu apa dan dia melakukan sholat semuanya maka sah
sholatnya.
-
Ketika dia puasa wajib tapi dia tidak mengetahui apakah dia puasa
ramadhan ataukah puasa membayar kafarat maka puasanya tetap sah.
“Catatan”
1. Apakah niat termasuk rukun atau syarat
dalam ibadah, hal ini ada beberapa jawaban
- Sebagian besarmemilih bahwasanya niat
itu termasuk rukun karena niat masuk dalam ibadah
- Abu Thoyyib ibnu Shobag berpendapat
bahwa niat termasuk syarat kecuali untuk memisahkan kepada niat yang lain
- Menurut 2 syaikh bahwasannya dalam
sholat niat termasuk rukun sedangkan dalam puasa niat termasuk syarat.
2. Niat diberlakukan seperti syarat dalam
maslaah yaitu sesuatu ketika seorang ragu setelah sholat dalam meninggalkan
bersuci maka waib mengulang.
3. MenurutAr-Rafi’I dan pengikutnya dalam
kitab Raudhoh, niat dalam sumpah bias mengkhususkan lafadz yang umumtetapi
tidak bias mengkhususkan lafadz yang khusus
4. Menurut Suyuthi dalam kitab asybah
wannadhoir, tujuan sebuah ucapan itu dikembalikan kepada niatnya orang yang
mengucapkan. Kecuali sumpah dihadapan hakim, maka digantungkan pada niatnya
hakim, bukan pada niatnya orang yang melakukan sumpah.
5. Kefardhuan itu kadang-kadang bias
terlaksana pekerajaannya dengan niat kesunatan
- Apabila ada orang bertasyahud akhir
dengan dugaan bahwa yang dilakukan adalah tasayahud awal, kemudian baru ingat
di akhir, maka tasyahud akhirnya hukumnya sah
Kaidah Kedua : Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Oleh Keraguan
Kaidah tersebut disusun berdasarkan hadits Nabi SAW., antara lain:
1.
Apabila seseorang dari kamu mendapatkan sesuatu dalam perutnya,
kemudian sangsi apakah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah
keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan bau (HR. muslim
dari abu hurairoh)
2.
Diriwayatkan oleh muslim dari dari abi said al khadri, rosulullah
saw. Bersabda: “apabila seseorang dari kamu ragu-ragu dalam sholatnya, tidak
tau sudah berapa rokaat yang telah dikerjakan, tiga atau empat rokaat, maka
buanglah keraguan itu dan berpeganglah pada apa yang meyakinkan”.
3.
Diriwayatkan oleh tirmidzi dari Abdurrahman bin auf, beliau
berkata: saya mendengar Rosulullah SAW bersabda: “ apabila seseorang lupa dalam
sholatnya, tidak tau apakah sudah satu rokaat atau dua rokaat, maka yang
diambil adalah satu rokaat, begitu pula apabila tidak tau sedah tiga rokaat
atau empat rokaat maka yang diambil adalah tiga rokaat. Kemudian sujudlah dua
sujud sebelum salam”.
Dan yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
1)
Asal itu tetapnya sesuatu pada keadaan semula
Contohnya:
-
Orang yang yakin dalam keadaan berhadats kemudian ragu dalam
kesuciannya, maka dia dihukumi berhadats, begitu juga orang yang yakin suci
kemudian ragu tentang hadats, maka dia dihukumi suci.
-
Orang yang makan pada akhir malam kemudian ragu apakah sudah terbit
fajar, maka puasanya tetap sah karena pada dasarnya dia makan dimalam hari.
-
Orang yang makan diakhir siang tanpa ijtihad kemudian ragu tentang
terbenamnya matahari, maka puasanya puasanya batal karena pada dasarnya dia
makan disiang hari.
-
Seseorang yang pada awalnya berniat kemudian ragu apakah sudah
terbit fajar atau belum, maka puasanya tetap sah tanpa perbedaan.
-
Seseorang membeli air kemudian menuduh najisnya air tersebut supaya
bisa mengembalikannya, maka yang diterima adalah perkataan penjual karna pada
dasarnya air itu suci.
2)
Pada dasarnya sesuatu itu bebas dari tangguangan
Contohnya:
-
Apabila terdapat perselisihan antara orang yang menghutangi dan
orang yang dihutangi, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan orang yang menghutangi,
karena yang asal adalah bebas dari tanggungan.
-
Terdakwa yang menolak melakukan sumpah tidak dapat ditetapkan
hukuman karena penolakan tersebut. karena pada asalnya bebas dari tanggungan.
-
Tidak diterimanya saksi yang hanya seorang saja dalam masalah
tanggungan selama tidak ada perbandingan dengan orang lain
3)
Apabila seseorang ragu-ragu apakah dia telah mengerjakan sesuatu
atau belum, maka hukum asal adalah dia belum mengerjakan.
Kaidah
tersebut selaras dengan kaidah lain, yaitu: barang siapa yakin telah melakukan
sesuatu, akan tetapi ia ragu dalam jumlah sedikit banyaknya, maka yang diambil/
dianggap adalah yang sedikit.
Contohnya:
-
Seseorang yang ragu apakah sudah mentalak dua atau empat, maka yang
diambil adalah yang sedikit.
-
Orang yang ragu apakah dia meninggalkan suatu yang diperintah dalam
sholat atau tidak sujud sahwi atau melakukan perbuatan yang dilarang, maka dia
tidak perlu sujud sahwi karena pada dasarnya dia tidak melakukan apa-apa.
-
Seseorang yang lupa kemudian ragu apakah sudah sujud sahwi atau
belum maka sujudlah.
4)
Asal dari sesuatu itu tidak ada
Contohnya
:
-
Seorang suami istri berselisih tentang belum atau sudahnya jima’,
maka ucapan yang dibenarkan adalah yang mengatakan belum jima’ karena yang asal
adalah tidak ada jima’
-
Apabila seorang pemjual dan pembeli berselisih paham tentang cacat
yang ada pada barang dan penjual mengingkarinya maka perkataannya dibenarkan
kerana asalnya tidak ada(cacat).
-
Jika ditetapkan atasnya hutang dengan ketetapan dan bukti kemudian
dia mengaku sudah membayar hutang dan bebas dari hutang, maka perkataan yang
dibenarkan adalah orang yang menghutangi karna pada asalnya hal itu (membayar
hutang) tidak ada.
5)
Asal
setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadian.
Contohnya:
-
Seseorang
melihat air mani di pakaiannya, tapi ia tidak ingat kapan mani itu keluar, maka
orang tersebut wajib mandi dan mengulangi shalatnya yang dia lakukan setelah
tidur yang terakhir inilah waktu yang terdekat dengan keluarnya mani.
-
Seorang
dokter mengoperasi ibu hamil, untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam
kandungannya, operasi tersebut berhasil dengan selamat. Setelah ada seminggu
bayi itu meninggal, maka dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.
Sebab kematian bayi tersebut belum tentu karena dokter itu, bisa jadi karena
sebab lain yang lebih dekat dengan kematian bayi tersebut.
-
Seseorang
berwudhu di sumur, lalu melaksanakan sholat, setelah beberapa hari baru tahu
kalo di sumur tersebut ada bangkai, maka dalam hal ini tidak usah mengqodo’
sholat, kecuali yakin ketika sholat dalam keadaan najis.
6)
Menurut
“Imam Syafi’i”: Asalnya segala susuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya, sedangkan menurut “Imam Hanafi”: Segala sesuatu pada
dasarnya adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
Contohnya :
-
Walaupun
seseorang sangat ragu tentang hukum Biawak maka hukum asalnya boleh, karena
tidak tidak ada dalil yang mengharamkannya.
-
Seseorang
tidak tahu, Jerapah haram apa halal, menurut As-Sibki, halal memakannya karena
hukum asalnya boleh, selama tidak memabukkan dan tidak ada dalil yang
mengharamkannya.
7)
Hukum
asal farji (tentang seks) adalah haram
Contohnya:
-
A
ingin menikahi perempuan di suatu desa, tetapi di desa itu ada salah satu
muhrimnya (misalnya adik perempuan), maka dalam hal ini A tidak boleh menikahi
salah satu perempuan di desa itu, karena hukum asal farji adalah haram.
-
Seseorang
mewakili untuk membeli budak perempuan, dan menggambarkan budak tersebut, maka
dia membeli budak. Sebelum budak tersebut Islam tidak boleh untuk mewakili
dalam hal wathi’.
8)
Hukum
asal dalam pembicaraan adalah yang hakiki
Contohnya:
-
Jika
seseorang mewakafkan suatu harta kepada anaknya, maka cucunya tidak mendapatkan
bagian wakaf, karena kata anak secara hakiki adalah anak langsung.
-
Seseorang
bersumpah, tidak akan membeli suatu barang, kemudian dia mewakilkan orang lain
untuk membeli sepeda, maka dia tidak melanggar sumpah, karena kata membeli
secara hakiki tidak berarti mewakilkan.
-
Ketika
seseorang berhenti menghafalkan Al-Quran, meskipun dia berhenti menghafalkan
Al-Quran, ayat/surat yang sudah dihafal tidak boleh sampai lupa.
Pertentangan
Dua Ashl Atau Ashl Dan Dzohir
Apabila
ada pertentangan dua ashl atau ashl dan dhohir maka wajib melihat dalam
keunggulan.
1.
Pertentangan
ashl dan dhohir dibagi menjadi empat;
a.
Ashl
harus dimenangkan secara pasti. Apabila bertentangan dengan sekedar
kemungkinan.
Contoh : Orang yang
keadaan suci kemudian ragu apakah sudah batal atau belum, maka dikembalikan ke
ashl, yaitu belum batal
b.
Dhohir
dimenangkan secara pasti apabila bersandar pada :
·
Sebab
yang dimenangkan oleh syara’
Contoh : Pemberitahuan orang yang dapat
dipercaya tentang masuknya waktu sholat atau tentang najisnya air.
·
Sebab
yang dikaitkan oleh kebiasaan
Contoh : Air got yang
mengalir di lubang kamar mandi. Karena biasanya bercampur dengan air kencing,
maka air itu hukumnya najis.
·
Sebab
yang dikuatkan oleh tanda,
Contoh
: Jika seekor kambing kencing di air yang banyak, kemudian air tersebut
berubah, maka air itu dihukumi najis. Namun, jika air tersebut tidak berubah
karena tergenang lama, maka tidak dihukumi najis.
·
Kabar
dari seseorang
Contoh : ketika imam
syafi’i ingin meneliti tentang haid, maka imam syafi’i langsung melakukan
penelitian ke beberapa wanita untuk menanyakan hal tersebut.
c.
Ashl
dimenangkan, menurut pedapat asoh apabila sebab – sebab kemungkinan dianggap
lemah.
Contoh
: Menurut hukum ashl, baju pembuat arak tetap suci walaupun ada kemungkinan
terkena percikan arak, karena sebab – sebab kemungkinannya dianggap lemah.
d.
Dhohir
dimengangkan menurut pendapat yang ashoh, apabila dhohir dianggap kuat.
Contoh
: Apabila seseorang membaca al –fatihah dalam shalat kemudian ragu – ragu
mengenai satu huruf mengenai satu huruf atau satu kalimat, maka keraguan itu
tidak berpengaruh.
2.
Pertentangan
dua ashl
Apabila ada pertentangan dua ashl maka
diunggulkan ashl yang lebih kuat yang dhohir atau lainnya, ibnu rafi’ah
menyatakan dengan ucapannya; Apabila ada dua ashl yang saling bertentangan ashl
yang lebih kuat tanpa ada perselisihan.
Misalnya:
-
Apabila
ada perbedaan seorang penjual menjual hewan yang keadaan hamil dan ketika di beli kepada
pembeli hewan tersebut melahirkan, pemilik anak hewan tersebut apakah penjual atau pembeli, menurut abu
hamid : anak hewan tesebut milik penjual karena ashl itu tetap pada pemiliknya.
Sedangkan ad-dharami membolehkan keduanya yang jadi pemilik anak hewan , baik
penjual atau pembeli.
-
Apabila
air kejatuhan najis dan ragu lebih dari dua kulah atau kurang, maka keduanya
najis karena ashl tidak banyak, kalau yang kedua tidak najis karena ashlnya air
itu suci.
-
Apabila
seseorang menjahitkan bajunya kemudian oleh penjahitnya dibuat jubah,karena
tidak ada perintah yang jelas. Dan pemilik berkata tapi gamis. Yang pertama
dibenarkan pemiliknya karena ashl tidak adanya izin. Yang kedua dibenarkan penjahit karena ashl itu terbebas
dari tanggungan.
“Penutup”
1.
Ibnu
qodhi berkata dalam ringkasannya: hukum keyakinan tidak dapat berubah dengan
keraguan kecuali dalam sebelas masalah:
a.
Seorang
yang mengusap muzah, kemudian ragu apakah ia masanya telah habis. Maka, pada
kasus tersebut dianggap telah habis masanya.
b.
Seorang
yang mengusap muzah, kemudian ragu apakah ia mengusapnya dirumah atau ketika
berpergian. Maka, dalam dua kasus ini dianggap telah habis masanya dan ia harus
ganti muzah.
c.
Seekor
hewan kencing di air yang banyak, kemudian airnya berubah dan tidak diketahui
apakah berubahnya karena air kencing ataukah karena hal lain. Maka, air
tersebut dihukumi najis.
d.
Wanita
musthahadhoh yang mutahayyiroh (binggung ). Maka, ia wajib mandi di setiap
shalat yang dia ragukan putus darah sebelumnya.
e.
Seorang
yang pakaiannya terkena najis,tetapi dia lupa letak najisnya. Maka dia wajib
membasuh semuanya.
f.
Wanita
musthadhah dan orang yang beser (kencing yang terus menerus ) berwudhu kemudian
ragu apakah telah purus hadastnya atau belum, lalu dia shalat dengan
kesuciannya. Maka tidak sah sholatnya.
g.
Seorang
bertayamum kemudian dia mengetahui sesuatu, namun ia tidak mengetahui apakah
itu air atau fatamorgana. Maka batallah tayamumnya, meski pada keyataanya
fatamorgana.
h.
Seseorang
memanah hewan kemudian melukainya. Setelah itu, hewan tersebut menghilang dan
ditemukan dalam keadaan mati. Lalu ia ragu apakah hewan tersebut mati karena
kena panah atau batu. Maka, hewan itu tidaklah halal dimakan.
i.
Seorang
musafir yang ragu apakah dia sudah sampai daerahnya atau belum. Maka, ia tidak
boleh mengambil rukshoh (keringganan )
j.
Seorang
musafir ragu apakah dia niat mukim atau tidak. Maka ia tidak boleh mengambil
rukhshoh
k.
Seorang
musafir takbiratul ihram dengan niat qoshr di belakang imam yang tidak
diketahui apakah imam tersebut musafir atau muqim. Maka, musafir tidak boleh
mengqoshor.
2.
Abu
Hamid Al-Asrofi berpendapat : keraguan ada 3 macam
·
keragu-raguan
yang timbul dari pangkal (sumber) yang haram.
Contoh:
binatang sembelihan di Negara yang penduduknya islam dalam majusi. Maka tidak
halal binatang tersebut. Sehingga diketahui bahwa binatang tersebut sembelihan
orang islam, karena berasal dari haram, kecuali apabila pada umumnya sembelihan
orang islam.
·
Keragu-raguan
yang timbul dari pangkal yang mubah
Contoh:
orang yang mendapat air yang telah berubah, perubahan tersebut ada 2
kemungkinan, karena najis atau karena lamanya diam. Maka boleh bersuci dengan
air tersebut berdasarkan anggapan bahwa air itu asalnya suci.
·
Keragu-raguan
yang tidak diketahui dari mana asalnya( haram atau halalnya)
Contoh:
bekerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram dan tidak
bis dibedakan hartanya yang haram dan halal. Dalam hal ini boleh jual beli
dengan dia, karena kemungkinan barangnya halal dan tidak tegasnya yang haram.
Hanya saja dimakruhkan karena dikhawatirkan pada barangnya yang haram.
Kaidah Ketiga : Keberatan
itu bisa membawa kepada mempermudah
Dasar
Kaidah
Semua
keringanan dalam syara’ adalah bersumber dari kaidah ini.
Adapun
dasar kaidah ini adalah :
1. Ayat – ayat Al-Qur’an, antara lain :
a. “Tidaklah Allah membuat sempit dalam agama atas kalian”
b. Allah menghendaki kemudahan dengan
kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian.
c. “Allah menghendaki kemudahan dengan
kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian
2. Hadits Nabi SAW. Antara lain :
a. Aku diutus dengan membawa agama yang
dicenderungi, yang murah lagi mudah.
b. “ Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan ummat ini
dan tidaklah kesukaran mereka.”
Sebab-
sebab keringanan
1. Berpergian
Misalnya :Sholat
dhuhur, ‘Ashar dan, Isya masing- masing mestinya empat rakaat, tetapi karena
bepergian yang telah mencukupi syarat, maka masing-masing bias diqashar menjadi
dua rakaa’at.
2. Sakit
Misalnya : Puasa
Ramadhan itu wajib atas orang yang sudah akil- baligh, namun apabila orang
tersebut sakit, pusa menjadi tidak waib baginya, meskipun ia harus mengqodo’nya
nanti.
3. Terpaksa
Misalnya : minum arak
hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman
akan dianiaya kalau tidak minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.
4. Lupa
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan pusa, tetapi
kalau makannya itu karena lupa, maka puasanya tidak batal.
5. Bodoh
Misalnya : bergerak
tiga kali berturut- turut dalam shalat, tetapi bagi orang yang belum/ tidak
tahu dan memang baru saja mengerjakan shalat, shalatnya tidak batal, karena
kebodohannya itu.
6. Sukar :
Misalnya: Debu dijalan
yang bercampur dengan kotoran, pada hakekatnya adalah najis, tetapi karena
sulitnya menghindari diri dari debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa- apa
(ma’fu).
7. Kurang
Misalnya: orang gila
tidak terkena kewajiban shalat, sebab orang gila itu kurang akalnya.
Macam-macam Keringanan
Menurut Aziz Addin : Macam-macam
Keringanan itu ada 6 :
1. Takhfif
Isqoth (keringanan pangguguran) : Seperti Terputusnya Sholat, Haji, Jihad
karena Udhur .
2. Takhfif
Ibdal (Keringanan Penggantian) : Seperti mengganti Wudhu dan Mandi dengan
Tayammum dan Berdiri dalam sholat dengan duduk.
3. Takhfif
Tanqish(Keringanan pengurangan) :seperti Qashr
4. Takhfif
taqdim (keringanan mendahulukan ) :
Seperti jama’ wa taqdim Zakat sebelum mencapai batas dan Zakat Fitri di
bulan Romadlon.
5. Takhfif
takhir (keringanan mengakhirkan ): Seperti jama’ wa ta’khir puasa romadhon bagi
orang yang sakit dan bepergian.
6. Takhfif
tarkhish (keringanan kemurahan) : orang yang sedang kehausan, kalau tidak cepat
minum mungkin bisa mati,padahal yang ada hanyalah jarak, maka orang itu diberi
keringanan boleh minum arak tersebut.
Pembagian Rukhshoh.
Rukhshoh dibagi menjadi :
1. Yang
menjadi Wajib
Seperti
makan bankai hukum asalnya adalah haram. Tetapi karena darurat, sekira jika
tidak makan bisa menyebabkan kematian, maka hukumnya berubah menjadi wajib.
2. Yang
menjadi Sunnah
Seperti
sholat dhuhur hanya dua roka’at hukum asalnya haram, tetapi karena bepergian
jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnah.
3. Yang
menjadi Mubah
Seperti
tempat (Panjar : uang lebih dulu dibayarkan sebelum ada barang atau kerja)
hukum asalnya tidak boleh, tetapi karena sangat dibutuhkan, maka hukumnya
berubah menjadi mubah.
4. Yang
menjadi Khilafil-aula
Seperti
sholat Jama’ bagi orang yang sedang tidak berpergian hukumnya haram, tetapi
karena sakit, maka berubah menjadi perbedaan pendapat.
Kaidah Pokok ini mempunyai kaidah
cabang yaitu :
إذا ضاق الأمر اتسع “Jika sesuatu itu manakala sempit,
menjadi luas.”
Kaidah ini juga kebalikan dengan
kaidah
إذا تسع الأمر ضاق “Jika sesuatu itu manakala luas,
menjadi sempit.”
Kaidah Empat : Keadaan darurot itu harus dihilangkan
Dasar dari kaidah ini adalah : “ Tidak boleh membuat kemadhorotan
pada diri sendiri dan membuat kemadhorotan pada orang lain” hadits yang
ditakhrij dari kitab Al-Muwwatho’ karya Imam Malik dariUmar bin Yahya dari
ayahnya merupakan hadits mursal, dan Baihaqi dan Daaruquthni dari hadits Abi
Sa’id Al Khudri dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Majah dan Ubadah bin Shomat.
As-Suyuti berkata : kaidah ini berhubungan dengan banyak bab/
persoalan dalam fiqh, diantaranya adalah diprbolehkannya mengembalikan perkara
atau barang yang cacat dalam jual beli karena terdapat beberapa sifat yang
tidak sesuai dengan yang telah disepakati, dan sebagainya. Dan ada juga kaidah-kaidah yang mengikuti kaidah ini,
diantaranya adalah :
1.
Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang, contohnya :
- Bolehnya meneguk khamr
karena terpaksa.
- Bolehnya mengucapkan
kalimat kufur karena terpaksa.
- Bolehnya menggunakan
sesuatu yang haram dengan kadar yang dibutuhkan atas kedarurotan itu dan tidak
boleh mengurangi kedarurotan itu apabila telah ditemukan sesuatu yang halal
meskipun hanya sedikit.
2.
Sesuatu yang diperbolehkan karena darurot, ditetapkan sesuai kadar
daruratnya yang mendekat pada kedarurotan. Dan sesuatu yang diperbolehkan
karena kedarurotan itu batal (tidak boleh dilakukan)apabila yang mendekatkan
dengan kedarurotan itu telah hilang, contohnya:
- Tidak boleh memakan bangkai kecuali pada
kadar untuk mencegah yang darurot.
- Boleh mengambil tanaman yang haram untuk
memberi makan hewan tetapi tidak boleh untuk dijual.
- Bolehnya mengambil makanan di negara musuh
untuk memenuhi kebutuhan hingga telah sampai pada dua perkara yang terlarang.
- Diampuni pada tempat yang disucikan tidak
menggunakan air tetapi batal jika membawa sesuatu yang digunakan untuk
mensucikan tadi dalam sholat.
- Bolehnya mengulang sholat jum’at sekiranya dalam keadaan tergesa
gesa
Terdapat pengecualian/ diluar dari yang telah disebutkan diatas,
diantaranya:
a.
Berjalan tanpa menggunakan alas kaki sesungguhnya diperbolehkan
bagi orang-oran fakir, kemudian boleh bagi orang-orang kaya menurut pendapat
yang lebih shohih.
b.
Khulu’ diperbolehkan untuk istri untuk keringanan, kemudian boleh
mencari yang lain (suami) setelah itu.
c.
Li’an diperbolehkan apabila sulit untuk mendatangkan saksi atas
kejadian zina.
Sebagian ulama’ berpendapat: ada lima urutan-urutan dalam
sebab-sebab memperolehnya keringanan dan yang menghilangkannya :
1.
Tingkat darurat (tidak boleh tidak), yaitu telah sampainya batasan
jika tidak memperoleh larangan yang merusak atau yang mendekati kerusakan dan
diperbolehkannya makan yang haram.
2. Tingkat hajat (sesuatu yang dibutuhkan)
seperti orang lapar yang tidak menemukan apa yang bisa dimakan, tidaklah rusak
meskipun dalam keadaan tidak sangat lapar, dalam hal ini tidak dibolehkan
memperoleh barang yang haram dan dibolehkan berbuka puasa.
3. Tingkat manfaat
(sesuatu yang baik) seperti orang yang menginginkan roti yang bergizi, daging
kambing, makanan yang bergizi.
4. Tingkat zienah (sesuatu yang tersier untuk keindahan) seperti orang yang menginginkan
sesuatu yang manis, gula dan pakaian yang bersih dari sutera dan linen
(rami).
5. Tingkat Fudhul (sesuatu yang berlebihan)
seperti keleluasaan makan barang yang haram dan syubhat.
3. Kemadhorotan tidak bisa dihilangkan dengan
kemadhorotan yang setingkat.Contoh :
- Tidak memakan makanan orang lain yang
sama-sama dalam keadaan lapar, tidak memotong kelezatan dari apa yang
diambilnya serta tidak boleh membunuh anaknya.
- Walaupun gugur atas
luka yang diperolehnya maka jika melanjutkan peperangannya dan jika berpindah
memerangi yang lain maka dikatakan melanjutkan
4. Jika ada dua kerusakan saling bertentangan
maka pilihlah dari dua sesuatu yang lebih besar
bahayanya dengan tingkatan yang lebih ringan dari keduanya.
Contoh : Syari’at qishos, hudud, bughot, pemotong jalan, syuf’ah,
faskh (rusak) dengan cacatnya penjualan, nikah, kekuasaan atas dasar agama,
nafkah wajib, mengambil makanan orang lain yang keadaan lapar dan menebang
pohon orang lain sampai merobohkan pohonnya disekitar rumah dan membelah perut
si mayit jika menelan harta benda atau
di perutnya terdapat janin yang ada harapan hidup, melempar orang-orang kafir
jika saling memerangi perempuan atau anak kecil atau dengan keluarga
orang-orang muslim. Dibolehkan membayar harta benda orang-orang kafir yang
mengepung orang-orang muslim yang mana orang muslim tidak melakukan perlawanan
dengan mereka, dan seperti penyelamatan kepada keluarga dari mereka dengan
harta benda jika tidak memungkinkan yang lain. Dibolehkan berpindahnya api yang
membakar air maka terbakarlah dan melihatnya merendahkan atasnya dari sabar
dari api.
5. Menolak kerusakan lebih utama daripada
menarik kemashlahatan. Maka jika memperhatikan syari’at dengan sesuatu yang
dilarang itu lebih berat daripada memperhatikan pada sesuatu yang dilarang.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Jika aku
perintahkan kalian suatu perkara maka datanglah ( penuhilah ) darinya apa yang
kalian mampu dan jika aku larang kalian tentang suatu perkara maka jauhilah
kalina semua”. Contoh : Dibolehkan meninggalkan beberapa kewajiban dengan
menanggung kesulitan (kesukaran) seperti meninggalkan berdiri ketika sholat,
berbuka puasa, dan toharoh dan tidak membiarkan pada sesuatu yang dilarang
terutama dosa besar.
6. Hajat menempatkan kedudukan yang yang
darurat ( sebuah keharusan ) yang bersifat umum atau khusus. Contoh :
- Pensyari’atan ju’alah,
ijaroh, hiwalah pada suatu perkara yang ada didalamnya dari kebodohan dan pada
kemanfaatan yang hilang dan menjual agama dengan agama.
- Dibolehkan melihat kepada
selain mahrom ( ajnabiyah ) dalam hal muamalah dsb.
- Memkan dari harta
rampasan perang dibolehkan sesuai kebutuhan dan tidak disyari’atkan bagi orang
yang makan agar tidak makan bersama selainnya.
- Menyiapkan ( menggunakan
) wadah dengan perak dibolehkan sesuaikebutuhan
Kaidah
Yang Kelima : Adat Kebiasaan Dapat Dijadikan Hukum
Asal
dari kaidah tersebut : Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka baik
pula di hadapan Allah. Ketahuilah bahwa perumpamaan adat dan kebiasaan kembali
kepada fikih dalam permasalahan yang tidak terhitung banyaknya diantaanya
adalah kebiasaan awal haid dan akhir haid meliputi keluar sedikitnya haid,
nifas, dan suci dan mayoitas paling banyak haid dan ketetapan sedikit dan
banyaknya kapan dan pekerjaan bemanfaat untuk sholat dan najis-najis yang
termaafkan dalam sholat. Sedikit najis dan sepanjang zaman singkatnya dalam
ruang lingkup wudhu dan pendirian sholat dalam hal jamaah dan sholat dan antara
ijab qabul.
Pembahasan-pembahasan
yang berkaitan dengan kaidah ini:
Pembahasan pertama: didalamnya ditetapkan oleh adat
dan demikian terdapat furu’ (cabang-cabang)
1.
Haid,
dalam haid ada beberapa macam seperti yang dijelaskan sebagian ulama.
2.
Tidak
ada peselisihan dalam syarat ketentuan dan apakah cukup dengan 2 kali atau 3
3.
Orang
yang terluka dalam berburu wajib sesuai ketetapan sesuai sampai mengalahkan prasangka baha itu adat
kebiasaan
4.
Pilihan
anak kecil sebelum baligh dengan penipuan mereka bekata kabarkanlah dia
mengabarkan dua kali atau lebih sampai mengalahkan prasangka petunjuknya
5.
Aib
barang jualan dan pezinahan penolakannya ditetapkan dengan sekali
Pembahasan kedua: Bahwa adat
kebiasaan dijadikan hukum ketika berlaku, misalnya:
1.
Menjual sesuatu dan
menggantungkannya, maka hukumnya ikut adat yang berlaku biasanya. Jika terjadi
kericuhan maka wajib menjelaskannya, jika tidak demikian maka jual belinya
batal
2.
Mengijarah tukang jahit atau tukang tenun. Maka siapakah
yang menyiapkan benang dan tinta? Terjadi khilaf, menurut apa yang disohihkan
oleh Ar-Rofii dikembalikan ke adat kebiasaannya. Jika terjadi perselisihan maka
wajib dijelaskan, jika tidak maka batallah ijarahnya.
3.
Madrasah-madrasah yang diwakafkan untuk mempelajari hadis dan
tidak diketahui keinginan si pewakaf di dalamnya apakah untuk mempelajari ilmu
hadis atau untuk membaca matan hadis atau
membicarakan kandungan hadis seperti fikih dan lainnya, dan tengah
bertanya syekh abu fadal ibnu hajar pada gurunya al hafidz abu
fadal al Iraqi dalam masalah ini
maka dia menjawab bahwa dzohirnya adalah mengikuti syaratnya para pewakaf
karena mereka berbeda dalam pensyaratan
wakaf begitu juga istilah setiap negeri juga berbeda.
Pembahasan Ketiga: Pertentangan adat dengan syariat
1.
Sesungguhnya tidak ada hubungan hukum dengan syariat, maka adat
istiadat berlaku didahulukan atas syariat.
Contoh: Jika seseorang bersumpah memakan daging, maka ia tidak
melanggar sumpahnya (ketika ia memakan) Ikan, karena sesunggunya Allah telah
menamakan ikan sebagai daging. Atau (jika) seseorang (bersumpah) tidak duduk di
atas tanah yang luas, di bawah atap, atau di cahaya pelita, maka ia tidak
melanggar (sumpahnya) dengan duduk di
atas bumi, karena sesungguhnya Allah menamakan bumi sebagai tanah yang luas,
dan ia tidak (melanggar sumpahnya) dengan duduk di bawah atap, karena
sesungguhnya Allah telah menamakan di bawah langit sebagai atap, serta ia tidak
(melanggar sumpahnya) dengan duduk di bawah matahari, karena sesungguhnya Allah
telah menamakan matahari sebagai pelita.
2.
Sesungguhnya terdapat hubungan hukum dengan syariat, maka hukum di
dahulukan atas adat istiadat.
Contoh:
Jika seseorang bersumpah bahwa dia tidak sholat, maka tidak melanggar sumpahnya
kecuali dengan rukuk dan sujud, atau ia (bersumpah) tidak berpuasa, maka tidak
melanggar (sumpahnya) dengan benar-benar menahan, atau ia (bersumpah) tidak
menikah, maka ia melanggar sumpahnya dengan akad bukan dengan wathi. Atau
seseorang mengucapkan jika saya melihat hilal maka kamu tertalak, kemuadian
terlihat selainnya (hilal ramadhan) dan dia mengetahuinya maka tertalaklah
menurut syariat. Karena sesungguhnya hilal dalam perkara ini bermakna umum
seperti sabda nabi SAW: ketika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah
kalian (karena melihatnya). Walaupun
secara lafadz menghendaki keumuman dan secara syariat menghendaki kekhususan,
namun aslinya dianggap kekhususan syariat. Atau jika seseorang bersumpah tidak
makan daging maka tidak melanggar sumpahnya sebab ia memakan bangkai, atau ia
bersumpah tidak wati, maka ia melanggar sumpahnya sebab wathi dubur.
Pembahasan keempat : di dalam pertentangan urf dengan bahasa
Shohibul kafi menceritakan ada dua sisi atau dua pandangan yang
harus didahulukan.
1.
Pendapat Al-Qadli Al-Husain :substansi yang berupa lafadz perbuatan
dengan penempatan bahasa.
2.
Pendapat Al-Baghowi: yang menunjukkan urf karena sesungguhnya urf
adalah hukum dalam bertindak terutama dalam hal iman
Contoh: ketika
kamu masuk di rumah saudaramu dan dipersilahkan makan tetapi kamu menolaknya. Kemudian
saudaramu berkata: kalau kamu menolaknya (tidak memakannya) maka istriku akan tertalaq.
Kemudian di hari keduanya kamu mau memakannya. Maka pada hari yang pertama itu
terjadi sumpah/ jatuh talaq dan hari kedua sumpah tidak berlaku.
Hukum yang
menunjukkan perihal atas kesepakatan
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSangat bermanfaat,semoga allah membalas kebaikan antum aamiin....
ReplyDeletemantap bang
ReplyDeletehttps://ketikancoeg2.blogspot.com/
ReplyDeleteadakah lanjutannya