BERANDA

Friday, March 10, 2017

SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU

SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pendidikan
Dosen Pengampu : Drs. Sabarudin, M.Si.





Disusun oleh :
Fauzul Murtafi’ah                13410052


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Orde baru secara harfiyah adalah masa yang baru yang menggantikan masa kekuasaan orde lama. Namun secara politis orde baru diartikan  suatu masa untuk mengembangkan negara Republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang sesuai dengan haluan negara sebagaimana yang terdalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta falsafah negara pancasila secara murni dan konsekuen.
Perpindahan kekuasaaan orde lama kepada orde baru ini dilakukan berdasar analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan pemerintahan yang telah melenceng dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila kekuasaan ini di teruskan maka tujuan dan cita-cita proklamasi kemerdekaan akan jauh dari keberhasilan.[1] Pendidikan selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Penulis akan membahas di dalam makalah ini mengenai “Sejarah Pendidikan pada Masa Orde Baru”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna dari Orde Baru?
2.      Bagaimana sejarah  pendidikan pada masa orde baru?
3.      Bagaimana Pendidikan Agama Islam pada Masa Orde Baru?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui makna dari Orde Baru
2.      Mengetahui sejarah  pendidikan pada masa orde baru
3.      Mengetahui Pendidikan Agama Islam pada Masa Orde Baru


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Orde Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G.30 S/PKI pada tanggai 1 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baruu yang diberi nama Orde Baru.
Orde Baru adalah:
1.      Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
2.      Memperjuangkan adanya suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupunspiritual melalui pembangunan.
3.      Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dengan demikian, Orde Baru bukanlah merupakan golongan tertentu, sebab Orde Baru bukan berupa pengelompokan fisik. Perubahan Orde Lama (sebelum 30 September 1965) menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerja sama erat antar pihak ABRI atau Tentara dan Gerakan-Gerakan Pemuda, yang disebut angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Dalam KAMI yang memegang peranan penting adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sangat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dengan Masyumi dan Organisasi Islam lainnya. Sejak 1966, para mahasiswa ini mulai melakukan demontrasi di jalan-jalan, sebagian secara spontan, sebagian lagi atas perencanaan pihak lain. Mula-mula mereka memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat, korupsi yang merajalela dan sebagainya. Dalam bulan-bulan berikutnya kampanye tersebut berkembang menjadi protes terhadap Soekarno, dengan cara penghinaan yang sebelumnya tidak terbayang akan dialamatkan kepadanya.[2]
B.     Sejarah Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab II pasal 3, dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang 1945. Pembentukan manusia Pancasila sejati adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang sudah banyak mendapat indoktrinasi Manipol USDEK pada zaman Orde Lama, pemurnian semangat Pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru.[3]
Hal tersebut kemudian dikuatkan dalam pasal 4 ketetapan MPRS nomor XXIIMPRS/1966 tersebut, selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan harus memuat:
1.      Mempertinggi mental, moral,budi pekerti, dan memperkuat keyakinan beragama.
2.      Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3.      Membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Ketetapan MPRS di atas menjadi penanda berubahnya pendidikan nasional dari Orde Lama menuju Orde Baru. Setidaknya ada dual hal, yaitu pembentukan manusia pancasialis sejati yang jelas dikaitkan oleh peristiwa tragis pasca Gerakan 30 September atau 1 Oktober, ketika Orde Baru menuduh PKI sebagai penghianat Pancasila karena ingin merubah Dasar Negara Pancasila menjadi komunis. Kemudian, yang kedua adalah mengubah mental masyarakat yang penuh doktrin-doktrin Manipol USDEK, yang merupakan kebijakan Soekarno. Jadi, Orde Baru mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan jalan memutus pengaruh PKI dan Soekarno, termasuk dalam hal ini bidang pendidikan.[4]
Selanjutnya, TAP MPRS tersebut menyatakan agar di perguruan-perguruan tinggi diberikan kebebasan mimbar/ilmiah seluas-luasnya yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan falsafah negara, Pancasila. Pemerintah lebih memerhatikan perkembangan gerakan pramuka dan memerikan prioritas yang diperlukan dengan meninjau kembali keputusan Presiden tentang Pembentukan Organisasi Gerakan Pramuka agar disesuaikan dengan tingkat perkembangan sekarang ini.
Selain itu, lembaga pemerintah dalam bidang pendidikan disederhanakan, baik mengenaijumlahnya maupun strukturnya. TAP MPRS tersebut juga melihat keadaan dunia pendidikan pada masa-masa yang akan datang dengan adanya kekurangan tenaga pengajar, antara lain melalui Undang-Undang Wajib Belajar. Menurut pemerintahan Orde Baru, perlu menyelenggarakan pendidikan rehabilitas kesadaran berideologi bagi mereka yang pernah menyeleweng terhadap pancasila.
Pada 28-30 April 1969, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional yang tengah terjadi saat itu. Di  dalam pertemuan tersebut, parapakar mengambil kesimpulan bahwa perkembangan pendidikan ditentukan oleh faktor-faktor intern. Kedua faktor tersebut harus diidentifikasi secara cermat, baru kemudian disusun suatu strategi serta program penanggulangannya.[5]
Pada waktu itu, disadari bahwa pemerintah belum mempunyai strategi umum yang menyeluruh dan jelas yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.      Badan-badan pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan tidak mempunyai otoritas yang jelas. Artinya, tanggung jawab dan fungsi badan-badan tersebut simpang siur sehingga arahnya kurang jelas dan efisiensinya tentunya rendah.
2.      Para penyelenggara pendidikan berlumlah profesional. Artinya, tingkat kemampuan parapenyelenggara pendidikan belum sanggup melaksanakan proses pendidikan secara profesional. Bukan hanya karena jumlahnya yang masih kurangmelainkan pada masa sebelumnya banyak dicampuri oleh unsur-unsur politik.
3.      Pelaksanaan pendidikan terlalu di bawah pengaruh politik sehingga proses pendidikan yang sebenarnya hal kedua, sedangkan praktik politik praktis menjadi sangat dominan dalam lingkungan kehidupan pendidikan nasional.
4.      Badan-badan penyelenggara penndidikan yang tidak profesional tersebut lebih diperparahh lagi karena tidak diperkuat oleh tim-tim peneliti. Hal ini disebabkan pada masa itu politik adlah panglima dan profesionalisme merupakan hal nomor dua. Demikian pula jumlah pakar-pakar pendidikan pada waktu itu masih sangat terbatas.
Diadakannya konferensi cipayung tersebut memiliki tiga tujuan. Pertama, mengidentifikasikan semua persoalan di bidang pendidikan. Kedua, menyusun suatu prioritas dari berbagai persoalan tersebut untuk dipecahkan atau diperhatikan sesuai dengan arah pembangunan nasional. Ketiga, mencari alternatif pemecahan.[6]
Hasil identifikasi masalah-masalah pendidikan dari Konferensi Cipayung menggolongkan masalah tersebut dalam enam kategori sebagai berikut:
1.      Pendidikan luar sekolah.
2.       Kurikulum sekolah dasar.
3.      Kurikulum sekolah menengah.
4.      Kurikulum pendidikan tinggi.
5.      Pembiayaan pendidikan.
6.      Sarana pendidikan.
Salah satu hasil konferensi Cipayung yang terkenal itu ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan pada 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud Tanggal 26 Mei 1969 Nomor 033/1969. Isi SK tersebut ialah dalam jangka waktu dua tahun (kemudian diubah menjadi tiga tahun) PPNP harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan nasional.
Melalui Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) diharapkan dihasilnya akan dimanfaatkan oleh Badan Pengembangan Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang didirikan melalui Keputusan Presiden No. 84/1969 tanggal 18 Oktober 1969. Menurut catatan, badan pengembangan inimerupakan institusi pertama didirikan dalam lingkungan pemerintahan yang kemudian diikuti oleh badan-badan sejenis di departemen-departemen lain.
Tugas dari Badan Pengembangan Pendidikan adalah sebagai berikut:
1.      Mengoordinasikan serta menyelenggarakan penelitian dalam bidang pendidikan.
2.      Mengadakan eksperimen-eksperimen dan proyek-proyek perintis dalam rangka pengembangan pendidikan.
3.      Menyiapkan rencana, program, kebijaksanaan untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. [7]
Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde Baru diidentikan dengan ideologi atau pembangunan. Begitu pula arah dan kebijakan pendidikan disesuaikan dengan geraknya pembangunan. Di dalam mengaktualisasikan pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memiliki program pembangunan, yang dikenal dengan istilah Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Persoalan mendasar dari pelita I adalah bangsa kita dalam kondisi kekurangan tenaga-tenaga terampil. Tenaga kerja dari lulusan pendidikan kita saat itu menunjukkan bahwalebih dari setengah angkatan kerjanya mempunyai latar belakang pendidikan di bawah tamatan SD. Oleh sebab itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah memberikan prioritas tinggi dalam mengembangkan pendidikan kejuruan sejak pelita I. sekolah-sekolah kejuruan dibenahi dan ditingkatkan mutunya dengan pengadaan guru serta instruktur yang berwenang, pengadaan alat-alat bantu belajar dan mengajar, fasilitas-fasilitas praktik yang sesuai sehingga diperoleh lulusan sekolah-sekolah kejuruan yang bermutu.
Di penghujung akhir Pelita I, Indonesia memperoleh rezeki yang biasanya disebut wind fall money. Adanya rezeki “nomplok” tersebut disebabkan oleh karena naiknya harga minyak bumi pada pertengahan dekade 1970-an. Dengan adanya kenaikan harga minyak bumi per barel dari US$3,37 menjadi lebih tiga kali lipat, pemerintah mendapat dana tambahan untuk mempercepat beberapa sektor pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, dan sarana-sarana fisik dasar lainnya yang diperlukan untuk lebih mempercepat pembangunan nasional.[8]
Dana tersebut dimanfaatkan untuk mempercepat pemenuhan apa yang disebut basic human needs yang menjadi mode pemikiran pembangunan pada dekade 1970-an. Di dalam bidang pendidikan, misalnya, dana tersebut digunakan untuk pemerataan pendidikan di tingkat sekolah dasaar. Maka, muncullah apa yang disebut Instruksi Presiden untuk pembangunan sarana pendidikan sekolah dasar. Seperti kita ketahui, pada tahun akhir pelita I telah dibangun sejumlaj sekolah dasar baru sehingga dapat menampung siswa baru sejumlah 720.000 orang.[9]
Di dalam Pelita I rumusan kebijakan pendidikan nasional pemerintah saat itu dihubungkan dengan persoalan ketanagakerjaan yang tentunya ada kaitannya dengan pembangunan. Rumusan tersebut ialah “Kebijakan terhadap penyesuaian dari persediaan tenaga kerja dengan kebutuhan untuk pembangunan ekonomi harus ditujukan ke arah pembaharuan sistem pendidikan dari tingkat Sekolah Daasar sampai ke Perguruan Tinggi. Peninjauan kurikulum akan diadakan sehingga terdapat kesempatan untuk mendapatkan pelajaran praktik yang memungkinkan dipelajarinya segi praktis dari pengetahuan yang diikutinya.”
Selanjutnya, dirumuskan pula langkah-langkah jangka panjang mewujudkan keterkaitan antara pendidikan dan ketenagakerjaan:
1.      Mengadakan peraturan untuk mengawasi atau membatasi pembukaan sekolah-sekolah menengah umum dan Fakultas Sosial Politik dan memperbanyak sekolah-sekolah kejuruan, mendorong pengembangan dari fakultas untuk ilmu pengetahuan eksakta.
2.      Meratakan dasar bagi pengetahuan sistem pendidikan dan penyempurnaan kurikulum yang diarahkan kepada pengetahuan-pengetahuan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan menyediakan fasilitas-fasilitas,seperti alat-alat, laboratorium untuk praktik, dan peralatan yang memungkinkan pelajaran-pelajaran praktik.
3.      Memperluas pendidikan guru dan keguruan tinggi serta meningkatkan mutu kesanggupan mereka.
4.      Dalam bidang perguruan tinggi, lebih diutamakan pertanian, teknik, ekonomi, kedokteran, dan keguruan.[10]
Dunia pendidikan dan para peserta didik setelah lulus harus berpartisipasi bagi kemajuan ekonomi dan pembangunan bangsa yang sudah ditafsirkan pemerintah.
Pada keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional pendidikan dan latihan, serta penjabarannya melalui Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pelaksanaaan pembinaan pendiidikan dan latihan.[11]
Pada  pelita II pada pidato pertanggung jwaban presiden pada 11 Maret 1978 tentang pendidikan, generasi muda, dan kebudayaan nasional, yaitu, “Pembangunan di bidang pendidikan, sebagaimana ditentukan dalan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Hal ini diusahakan antara lain dengan menggariskan serangkaian kebijakan pokok sebagai berikut:
1.      Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar dengan laju pertumbuhan kelompok-kelompok usia anak didik dan lulusan yang berbakat yang mencari tempat di tinfkat pendidikan yang lebih tinggi.
2.      Pemeliharaan dan peningkatan mutu pendidikan pada semua tingkat dan jenis pendidikan.
3.      Pengembangan sistem pendidikan yang lebih serasi (relevan) dengan pembangunan.
4.      Pemantapan pendidikan di luar sistem sekolah (pendidikan non-formal) dan usaha-usaha pembinaan generasi muda.
5.      Pengembangan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan sehingga dapat diandalkan untuk melaksanakan pembaruan pendidikan.[12]
Pada 1973 lahir GBHN yang pertama sebagai Keputusan MPR No. II/MPR/1973. Berdasarkan TAP MPR inilah, disusun Kurikulum 1975. Kurikulum-kurikulum sebelumnya disusun berdasarkan Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950, kemudian mendasarkannya kepada TAP MPRS No. II Tahun 1960 dan keputusan-keputusan lainnya. Dengan sendirinya, di masa Orde Baru memerlukan kurikulum yang sesuai dengan jiwa pembangunan masa lalu.
Kurikulum 1975 didasarkan pada TAP MPR II/MPR/1973, kurikulum tersebut juga menampung hasil-hasil percobaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran waktu itu. Untuk pertama kalinya kurikulum tersebut didasarkan pada tujuan pendidikan yang jelas. Dari tujuan tersebut dijabarkan tujuan-tujuan-tujuan yang ingin dicapai, yaitu tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, dan berbagai rincian lainnya sehingga jelas apa yang akan dicapai melalui kurikulum tersebut.
Kurikulum 1975 bersifat sentralistis. Artinya kurikulum tersebut disusun dan diasumsikan bahwa semua pelaksana, yaitu para guru di sekolah-sekolah sampai ke daerah-daerah terpencil akan mengerti dengan sendirinya tujuan serta pelaksanaan kurikulum tersebut. Seharusnya, para pelaksana kurikulum (guru-guru yang ada di depan kelas) perlu dipersiapkan dulu.[13]
Persoalannya bukannya para guru terseebut memiliki buku-buku kurikulum tersebut atau tidak, melainkan yang lebih penting adalah mengerti apa yang diajarkan dan mengapa diajarkan serta bagaimana mengajarkannya agar berhasil. Selain itu, setiap usaha pembaharuan pendidikan nasional saat itu yang tidak mengikutsertakan para guru sejak awal atau tanpa memberdayakan guru akan mengalami kegagalan. Para guru bukanlah sekedar objek pembaharuan, melainkan subjek pembaharuan atau pelaku pembaharuan tersebut.[14]
Untuk pelaksanaan kurikulum 1975 tersebut, telah dipersiapkan buku-buku pelajaran pokok maupun buku-buku pelajaran lainnya. Boleh dikatakan sejak pelita II, pengadaan buku, khususnya perbukuan untuk buku-buku teks, mulai diproduksi dalam jumlah yang cukup besar.
Pelita II, pemerintah melaksanakan program pengadaan buku teks sendiri, baik buku teks utama yang wajib dipakai untuk keperluan proses belajaar mengajar dalam bidang-bidang tertentu maupun bacaan.
Mata pelajaran yang diprioritaskan pengadaan buku teksnya untuk sekolah dasar ialah Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk tingkat sekolah lanjutan (SMP dan SMA), pengadaan buku teksnya utama diprioritaskan pada Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris.[15]
Di dalam Pelita III, rumusan pembangunan sarana pendidikan Sekolah Dasar adalah “Titik berat program pendidikan diletakkan pada perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan pelaksanaan wajib belajar yang sekaligus memberikan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan serta peningkatan pendidikan teknik dan kejuruan pada semua tingkat untuk dapat menghasilkan anggota-anggota masyarakat yang memiliki keccakapan sebagai tenaga-tenaga pembangunan.”[16]
Di dalam Pelita IV dirumuskan sebagai berikut, “Titik beratpembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan dan menetapkan pelaksanaan wajib belajar, serta meningkatkan perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah.”[17]
Pada masa ini lahir pula kurikulum baru, tepatnya di tahun 1984. Kurikulum ini dilatarbelakangi oleh kondisi melajunya pembangunan nasional. Kurikulum ini telah melahirkan dimensi-dimensi baru dalam pembangunan, juga dalam pendidikan nasional.
Kurikulum 1984 sebenarnya dapt dikatakan merupakan penyempurna dari kurikulum 1975. Dengan masukan yang sangat berarti dari hasil komisi pembaharuan pendidikan nasional, begitu pula dengan TAP MPR No. IV/1983, lahirlah kurikulum 1984 dengan ciri menonjol menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
·         Apa yang akan dikerjakan?
·         Mengapa diajarkan?
·         Bagaimana diajarkan?
Pertanyaan fundamental ini lebih mengarahkan Kurikulum 1975 sebab di dalam kurikulum baru ini harus jelas perumusannya.
Kurikulum 1984 mempunyai kelemahan-kelemahan umum, yaitu terlalu sentralistis sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian di daerah-daerah. Namun sayangnya, kemampuan daerah untuk melengkapi kurikulum tersebut sangat terbatas, demikian pula para guru, para penilik, dan pejabat-pejabat lainnya tidak dipersiapkan secara menyeluruh dan matang untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Pada TAP MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan, menyatakan antara lain, “Titik pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kemampuan belajar pada jenjang pendidikan menengah tingkat pertama.
Pada era ini, berhasil dibentuk UU Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan di dalam bab III pasal 6, “setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.” Di dalam UU No. 2 tahun 1989 Pasal 30, ayat (3) dikemukakan bahwa tenaga kependidikan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan tugas.[18]
Pendidikan di tahu 1990-an, yaitu Pelita V dan VI sampai presiden soeharto mengundurkan diri pada 20 Mei 1998, sebagai tanda berakhirnya Orde Baru berganti menjadi era Orde Reformasi.
Di dalam Repelita V prioritas pembangunan pendidikan ditekankan pada pendidikan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan. Selain itu, ditekankan pula pentingnya perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka persiapan perluasan wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat pertama. Agar pendidikan tetap mampu menghasilkan manusia berkualitas yang berpegang teguh pada kepribadian bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap diimbangi dengan nilai-nilai dasar moral, budaya, dan kemanusiaan.
Untuk itu pendidikan agama, pendidikan pancasila, termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasil (P4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Perguruan swasta sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional terus didorong untuk berperan sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan.
Program-program pembangunan pendidikan dan pengembangan generasi muda meliputi:
1.      Pembinaan pendidikan dasar,
2.      Pembinaan pendidikan menengah tingkat pertama,
3.      Pembinaan pendidikan menengah tingkat atas,
4.      Pembinaan pendidikan tinggi,
5.      Pembinaan tenaga kependidikan,
6.      Pembinaan pendidikan masyarakat,
7.      Pembinaan generasi muda,
8.      Pembinaan berolahraga,
9.      Pembinaan peranan wanita,
10.  Pembinaan pendidikan kedinasan,
11.  Pengembangan sistem pendidikan,
12.  Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan fasilitas pendidikan.[19]
Pada Undang-Undang Pokok Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dirasa perlu menyusun suatu Kurikulum 1984. Usaha yang besar ini, yang memiliki suatu kurikulum yang berdasarkan UU baru yang dilahirkan dalam Orde Baru, merupakan suatu prestasi yang besar. Kurikulum baru tersebut untuk SD sampai sekolah menengah telah dapat dirampungkan dan diberlakukan mulai tahun ajaran 1994/1995 secara bertahap. Dimulai pada ajaran 1994.1995, kurikulum 1994 diberlakukan untuk kelas 1 dan kelas 4 SD, kelas 1 SMP, dan kelas 1 SMA. Dengan demikian, di dalam jangka waktu tiga tahun seluruh Kurikulum 1994 itu telah dapat dilaksanakan.
Peran para pelaku dan intelektual pendidikan Indonesia ditunjukkan kembali dengan mencoba mengkritisi kondisi pendidikan, terutama berkaitan dengan profesi para pendidik, misalnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).[20]
Di dalam GBHN 1993, telah digariskan sasaran bidang pembangunan jangka panjang II. Dalam hal bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan dirumuskan sebagai berikut, “Terwujudnya kehidupan masyarakat yang makin sejahtera lahir batin secara adil dan merata, terselenggaranya pendidikan nasional dan pelayanan kesehatan yang makin bermutu dan merata yang mampu mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional, semakin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat manusia Indonesia dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.”[21]
Kurikulum 1994 ini lahir memiliki tujuan, yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah (PP. No. 28 Tahun 1990).[22]
C.    Keberadaan Pendidikan Agama Islam pada Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966 telah terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik menyangkut kehidupan sosial, agama maupun politik. Pemerintah Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Pemerintah dan rakyat membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan agama khususnya, semakin memperoleh tempat yang kuat dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga sekarang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama sudah dikembangkan sejak Taman Kanak-Kanak (Bab V pasal 9 ayat I PP Nomor 27 Tahun 1990 dalam UU Nomor 2 Tahun 1989).[23]






BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Orde Baru adalah Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyeleweengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, memperjuangkan adanya suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupunspiritual melalui pembangunan dan sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Ketetapan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab II pasal 3, dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang 1945. Pembentukan manusia Pancasila sejati adalah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah mental masyarakat yang sudah banyak mendapat indoktrinasi Manipol USDEK pada zaman Orde Lama, pemurnian semangat Pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru
Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga sekarang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama sudah dikembangkan sejak Taman Kanak-Kanak (Bab V pasal 9 ayat I PP Nomor 27 Tahun 1990 dalam UU Nomor 2 Tahun 1989).






DAFTAR PUSTAKA

A. Mustafa dan Aly, Abdullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rifa’I, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rukiati, Enung K dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia Bandung.




[1]Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia(Bandung: Pustaka Setia Bandung),  hlm. 65.
[2] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.137-138.
[3] Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 193-194.
[4] Ibid, hlm. 194.                                                                                            
[5] Ibid, hlm. 194-185.
[6] Ibid, hlm. 195
[7] Ibid, hlm. 197.
[8] Ibid, hlm 198.
[9] Ibid, hlm. 198-199.
[10] Ibid, hlm. 199-200.
[11] Ibid, hlm. 200.
[12] Ibid, hlm. 206-207.
[13] Ibid, hlm. 212.
[14] Ibid, hlm. 212.
[15] Ibid, 215.
[16] Ibid, hlm. 218.
[17] Ibid, hlm. 219.
[18] Ibid, hlm. 230-231.
[19] Ibid, hlm. 237
[20] Ibid, hlm 239.
[21] Ibid, hlm. 241-242.
[22] Ibid, hlm. 245.
[23] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 140-141.