BERANDA

Wednesday, November 27, 2013

INFORMASI UIN SUKA...

Pembukaan POMNAS XIII Cabang Olahraga Karate di UIN Sunan Kalijaga

Selasa, 26 November 2013 15:13 WIB

SUMBER
UIN Sunan Kalijaga dipercaya menjadi tempat perhelatan Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) XIII Cabang Olahraga Karate. Kegiatan ini berlangsung tanggal 26-28 November 2013 bertempat di Gedung Multi Purpouse UIN Suka. POMNAS XIII diikuti oleh 33 Provinsi di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ketua Forki DIY, Setyo Wibowo, mengatakan bahwa POMNAS XIII Cabor Karate yang diselenggaran di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai ajang pembinaan atlet-atlet olahraga dari kalangan mahasiswa. Selain itu juga sebagai pencarian bibit-bibit atlet yang nantinya akan berlaga dipertandingan tingkat nasional maupun internasional.
POMNAS XIII Cabor Karate dibuka oleh Wakil Rektor III Bidang Kerjasama dan Kelembagaan, Dr. H. Maksudin, M.Ag., mewakli rektor UIN Suka yang berhalangan hadir.” Kami Mewakili UIN Sunan Kalijaga mengucapkan terimakasih atas kepercayaannya Panitia POMNAS XIII dalam memilih UIN Sunan Kalijaga menjadi tempat pelaksanaan pertandingan Cabang Olahraga Karate”, tutur maksudin.
Maksudin juga berharap agar pertandingan dapat berjalan lancar dan selalu menjunjung tinggi sportifitas. Hal ini mengingat POMNAS XIII merupakan ajang silaturahmi yang selanjutnya akan mempererat jalinan persaudaraan antar atlit. Maksudin juga berharap semoga dengan acara ini terlahirlah para atlit-atlit handal yang mampu mengharumkan nama bangsa indonesia ditingkat internasional. (Doni Tri W-Humas UIN Suka)SUMBER

Wednesday, November 20, 2013

MAKALAH FILSAFAT UMUM



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Sejarah filsafat Yunani mulai pada awal abad ke-6 SM, suatu zaman acuan yang sering disebut juga zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelum masa itu, sering diceritakan bahwa alam semesta dan kejadian di dalamnya terjadi berkat kuasa-kuasa gaib dan adikodrati, kuasa para dewa-dewi. Cerita mitos ini kerap ditemukan dalam sastra-sastra Yunani.
            Pada awal abad tersebut, muncul para pemikir dari daerah pesisir Asia kecil, yakni Miletos. Mereka mencoba memahami dan menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos, melainkan pada logos. Logos berarti kata atau rasio. Bila bertentangan dengan mitos, kita harus menerjemahkan logos dengan rasio. Dengan logos ini, mereka mencari prinsip-prinsip rasional dan objektif-ilmiah yang menjelaskan keteraturan dunia dan posisi manusia di dalamnya. Sejak saat itu, mulailah babak baru dalam sejarah filsafat Barat Kuno: filsafat Yunani.
            Secara umum, tema-tema pokok filsafat Yunani mencakup 3 hal: 1) Permasalahan tentang asas (arkhe) dan hukum (logos) alam semesta serta upaya menemukan satu prinsip yang mempersatukan segalanya, 2) Tema-tema yang berkaitan dengan paham aletheia (ketidaktersembunyian) seperti ada, kebenaran, pengetahuan sejati, dan 3) Pertanyaan tentang kodrat manusia dan pengetahuan tindakan etisnya: jiwa, yang baik dan keutamaan (arete).
            Para sejarawan filsafat sepakat membagi sejarah filsafat Barat Kuno menjadi 3 zaman: 1) Zaman pra-Sokratik 2) Zaman Klasik dan 3) Zaman Yunani-Romawi. Dengan dibuatnya makalah ini pembahasan akan dikhususkan mengenai filsafat zaman pra-Sokratik. Zaman pra-Sokratik mencakup filsafat alam dari para pemikir asal Miletos, Parmenides, Herakleotos, beberapa filsuf alam yang muda lainnya dan para atomis (650 – 500 SM).




B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Apa yang dimaksud dengan filsafat pra Socrates atau filsafat alam?
2.        Siapa saja tokoh-tokoh filsafat yang ada di zaman filsafat pra Socrates atau filsafat alam?
3.        Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh filsafat yang ada di zaman filsafat pra Socrates atau filsafat alam?
C.      Tujuan
1.        Mengenalkan tokoh-tokoh filsafat alam dan pemikirannya
2.        Memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai filsafat pra Socrates atau filsafat alam













BAB II
PEMBAHASAN
A.      Filsafat Pra Socrates: Filsafat Alam
            Pemikiran filsafat Yunani awal sering disebut sebagai filsafat alam. Penyebutan tersebut didasarkan pada munculnya para ahli pikir alam yang memfokuskan pemikirannya pada hal-hal di sekitarnya, yakni alam semesta. Tipe filsafat alam ini juga disebut sebagai filsafat pra-Socrates. Karena, karakter pemikiran filsafat ini berbeda dengan pemikiran filsafat zaman Socrates dan berikutnya. Tokoh-tokoh filsafat alam ini mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala sesuatu. Pandangan mereka melahirkan monisme, yaitu aliran yang menyatakan hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.[1]
B.     Tokoh-tokoh Filsafat Alam
            Beberapa tokoh yang ada pada zaman filsafat alam atau filsafat pra Socrates adalah:[2]
1.      Thales (624-545 SM)
            Menurut Praja yang dikutip Nina W. Syam, Sejarah filsafat di dunia Barat diawali dengan masa filosofi alam. Tokoh filsafat pada masa ini adalah Thales yang terkenal dengan pemikirannya, “semuanya berasal dari air”. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segalanya yang ada di alam semesta. Menurut Simon Petrus berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap dan tak terbinasakan.[3]
            Menurut Barnes, argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Menurut Bertens, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk menjadi padat, cair dan gas tanpa menjadi berkurang. Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung di atasnya.[4]
            Thales lahir di Miletus, Yunani. Ia bisa dikatakan filsuf pertama. Pemikirannya yang sangat terkenal adalah zat utama yang menjadi prinsip dasar (arche) semua kehidupan adalah air.
            Air adalah anasir yang menhidupkan dan memunculkan segala sesuatu. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri air mampu tampil dalam segala bentuk. Ia bersifat mantap dan tak terbinasakan.[5]
            Thales juga dikenal sebagai tokoh yang mampu meramal terjadinya gerhana yang menurut astronom memang terjadi pertama kali pada tahun 585 SM. Dalam perjalanan hidupnya, Thales pernah mengadakan perjalanan ke Mesir dan kemudian memperkenalkan ilmu geometri ke Yunani. Geometri di Mesir memang masih hanya sebatas ilmu hitungan kasar dan belum ada bukti bahwa Thales menguasai ilmu tersebut secara deduktif.
            Thales bukan seorang matrealis karena dia menambahkan bahwa dalam segala sesuatu terdapat pula Tuhan. Bagi Thales, Tuhan bukan Zat yang mencipta, Ia adalah serupa roh abadi seperti kesatuan jiwa dengan raga jasmaniah kita. Inilah bibit Pantheisme atau mazhab wahdatul wujud, satu faham yang beranggapan bahwa  Tuhan ada terdapat dalam segala hal.[6]
2.      Anaximander (610-546 SM)
            Anaximandros mengungkapkan bahwa “sesuatu berasal dari apeiron dan akan kembali ke apeiron lagi.” Menurutnya jika air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi zat yang berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena itu Anaximandros berpendapat bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih mendalam dan tidak dapat diamati oleh pancaindera.[7]
            Anaximander adalah murid Thales dan termasuk tokoh kedua Mazhab Milesian. Ia hidup pada abad ke-6 SM di Miletus. Berbeda dengan Thales, ia berpendapat bahwa permulaan yang pertama tidaklah bisa ditentukan (apeiron) karena tidak memiliki sifat-sifat yang ada sekarang.
            Apeiron, “yang tidak terbatas” (dari a = tidak, dan eras = batas). To apeiron ini bersifat meliputi segalanya. Dari prinsip abstrak ini, berasal segala sesuatu yang ada di dalam jagad raya sebagai unsur-unsur berlawanan (panas dingin, kering basah, malam siang). Kepada prinsip ini juga semua itu pada akhirnya kembali.[8]
            Ia mengatakan bahwa segala hal berasal dari satu substansi asli, namun substansi itu bukan air seperti diyakini Thales, melainkan substansi itu tak terbatas, abadi dan tak mengenal usia serta melingkupi seluruh dunia. Anaximander memiliki argumen untuk membuktikan bahwa substansi asal itu bukan air atau substansi lain. Misal saja substansi itu bersifat asal, maka substansi itu akan mengalahkan yang lain. Anaximander mengatakan unsur-unsur yang telah dikenal itu saling beroposisi. Udara bersifat dingin, air bersifat dingin dan api bersifat panas. Maka, jika satu substansi itu asal, substansi lain tentu sudah punah.
            Anaximander mengatakan bahwa bukan dari bahan ini dan itu alam ini dibuat, akan tetapi dari bahan lain, yang sudah tentu bersifat bebas dan tidak terlibat dalam pertarungan dan perselisihan. Dengan demikian substansi asal harus netral di tengah perselisihan ini.[9]
            Kesulitan menerima ajaran Anaximander ini adalah bahwa ia mengembalikan segala sesuatu yang konkrit kepada satu prinsip yang sama sekali abstrak, yakni to apeiron. Misalnya batu yang sangat konkrit berasal dari sesuatu yang abstrak. Ini sangatlah tidak masuk akal. Padahal jauh lebih masuk akal jika dikatakan bahwa batu berasal dari butir-butir pasir yang mengalami proses pemadatan dan pengerasan.[10]
            Anaximander dikenal sebagai sosok yang memiliki rasa ingin tahu ilmiah yang besar. Ia adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk silinder. Ia sering mengatakan bahwa matahari sama besarnya dengan bumi, atau dua puluh tujuh kali bahkan dua puluh delapan kali sama besarnya.
3.      Anaximenes (585-528 SM)
            Ia menyatakan bahwa “yang asal itu satu dan tidak terhingga.” Asal itu udara. Sama dengan Thales dan Anaximandros, Anaximenes hidup sezaman dengan kedua filsuf tersebut kendati ia lebih muda dari keduanya. Salah satu kesulitan untuk menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara yang metafisik dengan yang fisik. Karena itu, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melain kan kembali pada zat yang bersifat fisik, yakni udara. Tidak seperti air yang tidak terdapat pada api menurut Thales, udara merupakan zat yang terdapat di dalam segala hal, baik air, api, manusia maupun segala sesuatu. Karena itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu.[11]
            Anaximenes berkeyakinan bahwa yang menjadi asal dunia adalah udara. Karena udaralah yang meliputi seluruh alam dan udara pula yang menjadi dasar hidup bagi manusia untuk bernafas. Baginya, jiwa adalah udara, api adalah udara yang encer, jika dipadatkan udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi menjadi tanah dan akhirnya batu.
            Pandangan bahwa udara merupakan prinsip dasar segala sesuatu, diterapkan Anaximenes juga pada pandangannya tentang jiwa manusia. Menurutnya, jiwa manusia tidak lain hanyalah udara yang dipupuk dengan bernafas. Dalam pandangan ini, Anaximenes sering disebut sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusiawi dan jagad raya, suatu tema yang kelak mengarah pada pengertian manusia sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang mencerminkan jagad raya sebagai dunia besar (makrokosmos).[12]
            Ia mengkiaskan dunia dengan manusia: “sebagaimana ruh dan jiwa manusia terdiri dari udara yang mengelilinginya, begitu juga nafas dan udara mengepung dunia keseluruhannya”. Menurutnya bumi juga bernafas. Bahkan ia beranggapan bahwa bumi berbentuk datar dan terapung di atas udara dari segala penjuru seperti daun kering yang sedang beterbangan. Benda-benda yang ada di langit juga terapung di udara. Ia beranggapan bahwa bumi adalah datar sebagai cakram atau meja bundar dan langit melindunginya sebagai topi.[13]
            Anaximenes adalah tokoh terakhir tritunggal mazhab Milesian. Anaximenes beranggapan bahwa bumi berbentuk meja bundar. Ketiga pemikir yang lahir di Miletus ini sangat diapresiasi oleh banyak pemikir dan memberikan dasar bagi lahirnya filsuf di kemudian hari.
4.      Pythagoras (582-496 SM)
            Pythagoras adalah matematikawan dan filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya. Bahkan dikenal dengan “Bapak Bilangan”. Ia lahir di pulau Samos. Ia keturunan keluarga terpandang. Ayahnya Mnesachos dan sebagian tokoh mengatakan bahwa ia keturunan dewa Appollo. Ia dikenal sebagai pribadi yang menarik, meski pemikiran filsafatnya agak membingungkan. Ia ahli dalam ilmu pasti dan musik. Ia menganggap bahwa filsafat adalah “musik yang tertinggi” karena teorinya tentang angka kita jumpai perwujudannya dalam note musik lebih mudah dimengerti. Menurutnya segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika sehingga dapat diukur dan diprediksi dalam siklus beritme.
Ia dikenal sebagai ahli mistik dan ahli pikir. Dalam aliran mistik, ia terpengaruh orfisme dan percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk sekarang ke makhluk yang akan datang. Pokok ajaran Pythagoras  mengenai segala barang dan angka-angka. Menurutnya, “alam ini tersusun dari angka-angka, di mana ada matematika, ada susunan dan ada kesejahteraan”. Pythagoras mencampurkan antara mistik dan ilmu.[14]
            Menurutnya, benda satu dari benda lain dibatasi oleh angka, kita menentukan segala sesuatu dengan bilangan. Batas, bentuk dan angka dalam pengertian Pythagoras adalah sesuatu yang sama. Segala sesuatu dalam alam raya tidak tertentu dan tidak menentu, setelah memiliki batas, bentuk dan angka barulah menjadi tentu dan pasti. Dunia angka adalah dunia kepastian yang erat kaitannya dengan dunia bentuk. [15]
            Dia telah memberikan sumbangan penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada akhir abad ke-6 SM. Dalam ajaran agama ia mewujudkan dalam bentuk ordo keagamaan. Ia juga telah menanamkan filsafat yang bercorak religius di Yunani, di Abad Pertengahan, dan Zaman Modern hingga era Immanuel Kant.
5.      Xenophanes (580-470 SM)
Menurut Albert A. Avey, Xenophanes memiliki pemikiran bahwa “Tuhan hanya satu, tidak bergerak, tidak berubah dan mengisi seluruh alam”. Menurutnya, Tuhan adalah “yang Satu meliputi Semua”, yakni tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat kekal. Ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati. Ia tidak menyerupai makhluk duniawi manapun, baik manusia atau binatang. Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia, namun mampu melihat, berpikir dan mendengar. Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja.[16]
Seorang kritikus yang ternama pada zamannya adalah Xenophanes. Dari tulisan-tulisannya kita mengenal bahwa perhatian Xenophanes tertuju pada kenyataan perbedaan adat istiadat, agama dan pendapat yang dianut oleh kelompok manusia yang mengaku dirinya sebagai suku bangsa.[17] Xenophanes termasuk agamawan yang saleh dan taat beragama. Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang memelihara alam semesta. Ia tidak banyak meninggalkan buku-buku karena lebih sering menyampaikan pemikiran-pemikirannya secara lisan. Namun ia sangan berpengaruh, salah satunya kepada muridnya yaitu Parmenides.
6.      Parmenides (540-475 SM)
Ia memiliki pemikiran  bahwa “pembangunan logika pertama. Yang hadir itu ada, yang hadir itu tidak ada. Yang ada tetap selamanya ada”. Parmenides menyatakan bahwa “yang ada” bersifat abadi, namun berhingga di dalam ruang”. Menurut Bertens, Parmenides mengatakan bahwa “yang ada” adalah kebenaran yang tidak mungkin disangkal. Bila ada yang menyangkalnya, maka ia akan jatuh pada kontradiksi. Orang yang mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak ada. Orang yang mengatakan “yang ada” dan “yang tidak ada” itu bersama-sama ada. Ini adalah hal yang mustahil, sebab yang “yang tidak ada” tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Kesimpulannya adalah “yang tidak ada” itu tidak ada, sehingga hanya “yang ada” yang dapat dikatakan ada.[18]  
Parmenides lahir pada 540 SM di Elea, Italia Selatan. Di kota kelahirannya ia dikenal sebagai ahli politik dan pernah menjabat dalam pemerintahan. Ia menjadi terkenal dengan pernyataannya “hanya ‘yang ada’ itu ada”. Ia tidak mendefinisikan apa itu “yang ada”, akan tetapi ia menyebutkan beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu. Menurutnya, “yang ada” itu tidak bergerak, tidak berubah dan tidak terhancurkan. Gerak yang tampak hanyalah tipuan belaka, ia hanyalah pengetahuan pancaindera.[19] “Yang ada” itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal. Kalau orang menyangkal bahwa “yang ada” itu tidak ada, dengan pernyataannya sendiri orang itu mengakui bahwa “yang ada” itu ada. Sebab, kalau benar “yang ada” itu tidak ada, orang itu tidak dapat menyangkal adanya “yang ada”. Jadi, kenyataan bahwa “yang ada” itu dapat ditolak keberadaannya menunjukkan “yang ada” itu memang ada, sedangkan “yang tidak ada” itu tidak ada. Sesuatu “yang tidak ada” sama sekali tidak dapat dikatakan atau dipikirkan, apalagi didiskusikan. Sebaliknya, “yang ada” itu selalu dapat dikatakan, dipikirkan dan didiskusikan. Olehh sebab itu, pernyataan Parmenides ini menjadi terkenal, “ada dan pemikiran itu satu dan sama.” Maksudnya, “yang ada” itu selalu bisa dipikirkan, dan “yang dapat dipikirkan” selalu ada.[20] Sesungguhnya. “yang ada” sebagai realitas sejati di balik segala perubahan itu tinggal tetap, abadi dan tidak berubah.
            Kemudian, ia membuat suatu pemisahan tajam dan membagi pengetahuan menjadi pengetahuan indera dan budi. Pengetahuan indera atau pengetahuan empiris diperoleh dari pengamatan dan pengalaman terhadap realita materi melalui pancaindera. Pengetahuan budi adalah pengetahuan yang dapat dipercaya karena diperoleh dengan akal dan didasarkan pada sesuatu yang tetap. Pengetahuan akal budi juga bersifat murni dan sejati. Sebab pengetahuan ini hanya diperoleh berkat akal budi yang mampu menangkap “yang ada” yang bersifat satu dan tidak berubah di balik segala sesuatu yang bersifat inderawi dan tidak mantap.
            Dengan objek alam, Parmenides berpendapat bahwa arche (materi terdalam) merupakan sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah, serta hanya ada satu. Maka dengan ini ia mengingkari gerak dan perubahan. Sehingga filsafatnya disebut filsafat ada. Namun, pandangan Parmenides ini jelas menimbulkan persoalan besar jika dikonfrontasikan dengan pengalaman biasa sehari-hari yang menunjukkan adanya perubahan yang terus-menerus pada sesuatu. Lalu Parmenides menantang siapa pun untuk berani memakai akal budinya melawan arus pendapat umum, “Jangan biarkan dirimu didesak ke jalan yang salah oleh kuatnya kebiasaan dan pandangan umum. Jangan percaya pada penglihatan yang menyesatkan daan telinga yang hanya mengumpulkan bunyi-bunyi. Juga jangan percaya pada lidah: hanya akal budi semata-mata hendaklah menjadi penguji dan hakim segala sesuatu!”
7.      Heraklitos (535-480 SM)
Menurutnya, “segala sesuatu berasal dari api yang mudah bergerak.” Tidak ada yang tetap, semua senantiasa bergerak. Yang ada bukanlah being, tetapi becoming. Tidak ada yang disebut ada, tetapi ada yang disebut menjadi. Segala perubahan dunia dikuasai oleh logos, artinya pikiran yang benar. Logos kemudian menjadi logika. Perubahan yang tiada henti itu dibayangkan Heraklitos dengan dua cara: pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. Air sungai selalu bergerak dan tidak mungkin seseorang turun dua kali di air sungai yang sama. Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini berbeda dengan mazhab Miletos yang menjadika air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Heraklitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.[21]
Menurut Heraklitos tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap ada kesatuan. Dapat dikatakan bahwa yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu. Anaximenes memandang ini adalah suatu bentuk ketidakadilan, sedangkan Heraklitos justru mengatakan bahwa itu adalah suatu keadilan. Ada siang dan malam, kehidupan dan kematian, kesehatan dan penyakit. Demikian dari hubungan pertentangan ini segala sesuatu terjadi dan tersusun. Heraklitos menegaskan, “perang adalah bapak segala sesuatu.” Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan.[22]
Heraklitos lahir di kota Ephesos. Ia juga terpengaruh filsuf alam Miletus. Ia berpendapat bahwa sega sesuatu berasal dari api. Api berubah terus dan merupakan sesuatu hal yang chaotis. Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak tetap. Pendapat ini dirumuskan dengan panta rhei, semua mengalir. Satu-satunya realita adalah perubahan. Orang tidak mungkin turun dua kali ke dalam sungai yang sama.
            Heraklitos beranggapan bahwa api adalah lambang dari segala kebenaran dan api adalah bahan utama dari segala sesuatu. Seperti api, segala sesuatu lahir dengan musnahnya barang lain. Segala sesuatu hidup atas kematian yang lain, dan mati untuk kehidupan barang lain. Dunia adalah satu kesatuan, yang dibentuk oleh kombinasi pertentangan.[23]
            Ia berpendirian, segala sesuatu itu menjadi dan berubah, maka tidak ada satu pun yang mantap. Sekalipun kosmos yang indah dan tertata baik ini selalu berada dalam arus gerakan yang tidak terputus dari berbagai unsur yang bertentangan: musim panas menjadi musim dingin, yang lembab menjadi kering, yang tandus menjadi basah, begitu seterusnya tanpa henti. “Kemantapan itu dusta!” tegasnya. Tetapi semua perubahan tersebut hanya dapat berlangsung teratur karena daya logos atau rasio dunia. Logos pula yang mempersatukan unsur-unsur yang bertentangan dalam segala sesuatu sehingga dari segalanya menjadi satu dan dari satu menjadi segalanya.[24]
             Keyakinan bahwa realitas terdiri dari unsur-unsur yang bertentangan yang keseluruhannya tersebut mengalir bagai arus sungai. Jadi tidak ada satu realitas pun yang dapat dipikirkan tanpa realitas lawannya. Misalnya kita tidak akan pernah mengerti apa itu malam jika tidak mengetahui apa itu siang. Keyakinan ini sesungguhnya adalah peperangan yang merupakan bapak segala sesuatu. Perang di sini berarti pertentangan. Unsur-unsur yang semula saling bertentangan, menjadi kesatuan karena adanya logos. Akhirnya, filsafat Heraklitos ini disebut juga sebagai filsafat menjadi.
8.      Zeno (+490 SM)
            Zeno lahir pada 490 SM di Elea. Zeno salah seorang murid Parmenides. Zeno mempertahankan filsafat ada dan mengingkari gerak. Gerak itu tidak ada, tidak mungkin dan hanyalah suatu khayalan. Contohnya, anak panah yang dilepaskan dari busurnya, ia tentu pada setiap saat berada pada tempat tertentu, tidak mungkin ia pada suatu saat berada pada dua tempat. Akan tetapi mengapa gerak bisa terjadi, kalau ia pada setiap saat harus berhenti pada satu tempat.[25]
Zeno mempertahankan pendapat gurunya, Parmenides. Mengenai yang satu dan tetap, dan yang banyak itu ada dengan dalil logika yang kuat.[26]
9.      Empedocles (492-432 SM)
            Empedocles lahir di Acragas, di pesisir selatan Sisilia. Empedocles dikenal sebagai politisi demokrat sekaligus mengaku sebagai dewa. Hasil karyanya dituangkan dalam bentuk syair-syair mengenai alam dan pemikiran-pemikiran mistis keagamaan. Ia setuju dengan Parmenides bahwa tidak ada segala sesuatu yang dilahirkan sebagai hal baru. Tetapi di sisi lain ia menentang bahwa kesaksian indera adalah palsu. Pengamatan indera memang menunjukkan hal yang jamak, namun keragaman itu disebabkan penggabungan dan pemisahan keempat anasir (air, udara, api, tanah) yang merupakan dasar terakhir segala sesuatu. Proses penggabungan dan pemisahan tersebut diatur oleh kekuatan cinta dan benci. Cinta adalah daya yang mempersatukan keempat anasir, sedangkan benci merupakan daya yang menceraikannya. Benda-benda alam semesta terjadi apabila kedua daya ini berperang sehingga keempat anasir itu bercampur aduk dan munculah benda-benda konkret.
Ia banyak dipengaruhi oleh aliran Pythagoras dan terkenal dengan pemikirannya bahwa prinsip yang mengatur alam semesta tidaklah tunggal melainkan terdiri dari empat anasir atau zat. Memang saat itu ia belum memakai istilah anasir (stoikeia) tetapi menggunakan istilah akar (rizomata). Sitilah anasir yang sebenarnya baru digunakan oleh Plato. Empat anasir tersebut adalah air, tanah, api dan udara. Keempat anasir tersebut dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiliki sifat-sifat yang saling berlawanan. Api dikaitkan dengan yang panas dan udara dengan yang dingin, sedangkan tanah dikaitkan dengan yang kering dan air dikaitkan dengan yang basah. Salah satu kemajuan yang dicapai melalui pemikiran Empedokles adalah ketika ia menemukan bahwa udara adalah anasir tersendiri. Empedokles berpendapat bahwa semua anasir memiliki uantitas yang persis sama. Anasir sendiri tidak berubah, misalnya tanah tidak dapat menjadi air. Akan tetapi, semua benda yang ada di alam semesta terdiri dari keempat anasir tersebut, walaupun berbeda komposisinya. Empedokles menyatakan tulang tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air dan empat bagian api. Suatu benda dapat berubah karena komposisi empat anasir tersebut diubah.[27]
            Empedocles menulis puisi seperti Parmenides. Ia mengatakan bahwa masing-masing elemen adalah abadi, akan tetapi mereka dapat bercampur karena cinta dan mereka rusak atau berpisah karena pertengkaran. Cinta dan benci adalah tenaga utama yang menggerakkan segalanya. Adakalanya cinta loebih berkuasa dari benci, maka segala isi alam hidup rukun dan damai. Adakalanya pula tenaga benci lebih kuat, maka terjadi kehancuran.[28]
            Keempat anasir tersebut harus diterima sebagai anasir pokok, sebab menurut observasi pancaindera, keempat anasir ini dapat dijumpai di mana-mana. Udara adalah anasir tersendiri yang harus diterima juga selain api, air dan tanah. Udara dalam arti uap kabut, sebab gejala-gejala adanya angin membuktikan itu.[29]
            Lalu dalam bukunya tentang penyucian, ia mengajarkan tentang perpindahan jiwa dan cara membebaskan diri dari penjara ragawi/bendawi dengan menyucikan diri.
10.  Anaxagoras (499-428 SM)
            Anaxagoras lahir di Clazomenae, Ionia kira-kira tahun 499 SM. Ia banyak melewatkan hidupnya di Athena dan Pericles. Ia adalah orang pertama yang memperkenalkan filsafat ke negeri Athena.
Ia berpendapat bahwa “anasir asal itu banyak dan tak terhitung jumlahnya, yang timbul dan hilang tidak ada, tiap benda mengandung anasir sendiri-sendiri”. Anaxagoras sama seperti Empedokles yang menyatakan bahwa prinsip dasar yang menyusun alam semesta tidaklah tunggal dan jumlahnya tidak terhingga. Zat-zat tersebut disebutnya “benih-benih” (spermata). Menurutnya, setiap benda bahkan seluruh realitas di alam semesta, tersusun dari suatu campuran yang mengandung semua benih dalam jumlah tertentu. Indera manusia tidak dapat menyerap semua benih yang ada pada suatu benda, melainkan hanya benih yang dominan.[30]
            Anaxagoras mengatakan ada banyak sekali anasir penyusun realitas yang jumlahnya tidak terhingga. Ia menyebut anasir itu spermata (benih-benih). Setiap benda dan seluruh realitas tersusun dari campuran benih-benih tersebut dalam proporsi tertentu. Pancaindera tidak sanggup menyerap semua benih yang ada dalam suatu benda, kita hanya mampu menyerap benih yang dominan. Misalnya emas, kita segera mengenalinya sebagai emas sebab benda itu memang memiliki benih emas sebagai benih yang dominan. Namun dalam kenyataannya, benda itu juga memiliki benih tembaga, perak, besi dan lain-lain. Hanya saja, semua benih yang lain ini sama sekali tidak dominan sehingga pancaindera kita tidak dapat menangkapnya.[31]
            Dan ia berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya percampuran benih-benih itu secara teratur adalah prinsip dasar segala gerakan yang disebut nous. Nous berasal dari bahasa Yunani yang berarti ruh atau rasio. Ruh adalah penyebab utama terjadinya seluruh perubahan fisik tersebut. Pokok penting ajarannya adalah teorinya tentang nous (ruh, akal). Nous ini kita jumpai perwujudannya dalam segala hal, dari perjalanan benda-benda langit hingga benda-benda yang paling kecil.[32] Ruh ini halus dan terpisah dari segala sesuatu namun kekuatannya melebihi segala sesuatu. Ruh merupakan sumber gerak dan sifatnya yang mandiri tidak terbatas dan tidak tercampur apa pun. Anaxagoras adalah filsuf pertama yang menetapkan kemandirian ruh atau rasio terhadap semua anasir atau materi.
            Hesiod, seorang penyair Yunani pernah membuat pernyataan bahwa chaos (kekacauan) adalah yang menciptakan bumi, lalu langit dan segala sesuatu lahir dari bumi dan langit. Pernyataan ini ditulis ulang oleh Anaxagoras dan menjadi inti bagi filsafat idealisme.
11.  Democritos (460-370 SM)
            Pemikiran Democritos lebih sulit dilacak. Ada beberapa informasi yang mengatakan bahwa ia pernah mengadakan perjalanan ke Mesir, Babilonia, Persia hingga Athena. Dampak pemikirannya masih dapat ditemukan dalam pergulatan pemikiran zaman kita. Aliran filsafatnya disebut atomisme.
            Atomisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa seluruh realitas terdiri dari gugusan unsur-unsur terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Unsur terkecil penyusun realitas itu diberi nama “atom” (a = tidak, dan tomos = terbagi). Atom-atom ini tidak tertangkap pancaindera dan tidak memiliki kualitas, misalnya panas atau manis. Namun atom-atom ini menempati ruang dan memiliki massa. Atas dasar ajaran atomisme tersebut, Demokritos mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan dengan mengacu pada gerakan-gerakan atom yang menyebabkan prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan. Kata kekosongan harus ditekankan karena menururtnya atom-atom itu bergerak. Dan gerakan memang mengandaikan adanya ruang kosong tempat atom bergerak.[33] Sebagaimana geraknya titik-titik debu yang dapat kita lihat dalam berkas sinar matahari di udara yang tidak berangin. Gerak itu terjadi karena akal, ia terjadi secara mekanis. Seperti menggunakan pisau ketika menembus apel, di dalam apel terdapat ruang kosong. Jika apel itu tidak mengandung ruang kosong, tentu apel sangat keras dan tidak dapat dibelah secara fisik.[34]
Ia meneruskan gurunya bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk realitas. Ato tersebut tidak dapat dibagi-bagi. Atom berasal dari bahasa Yunani atomos: a berarti tidak dan tomos berarti terbagi. Atom juga dipandang sebagai yang tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan dan tidak berubah. Yang terjadi pada atom adalah gerak. Karena itu, Demokritos menyatakan bahwa “prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan”. Jika ada ruang kosong, maka atom itu dapat bergerak. Atom-atom tersebut merupakan unsur terkecil yang membentuk realitas. Ukurannya begitu kecil sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya. Atom juga tidak memiliki kuantitas, seperti panas atau manis.[35]
            Ajaran Atomisme ini selanjutnya diterapkan oleh Democritos tentang proses pengenalan dan tentang manusia yang bertolak dari keyakinannya  bahwa setiap benda mengeluarkan gambaran-gambaran kecil (ediola) yang tersusun dari gugusan atom-atom. Gambaran-gambaran ini masuk ke dalam pancaindera, lalu disalurkan ke arah jiwa yang juga terdiri dari atom-atom. Kita dapat melihat sesuatu karena atom-atom dari gambaran sesuatu itu bersentuhan dengan atom-atom jiwa. Proses semacam ini berlaku juga bagi semua jenis pengenalan inderawi lainnya.[36]
            Pandangan Democritos ini membawa konsekuensi besar bagi filsafat ilmu pengetahuan. Di satu pihak, dengan menekankan juga aktivitas subjek dalam mengenali objek (benda), ajaran Demokrito memperlihatkan adanya saling ketergantungan mutlak antara subjek dan objek. Dengan kata lain, dalam proses pengenalan subjek dan objek tidak dapat berdiri sendiri. Realitas tidak selalu objektif, terlepas dari subjek, tetapi juga tidak bisa semata-mata subjektif tanpa ada hubungan dengan objek. Di lain pihak, dengan ajarannya bahwa realitas terdiri dari atom-atom yang luar biasa halusnya sehingga tidak dapat diserap panca indera, Demokritos mengakui bahwa kita tidak dapat mengenali hakikat sejati suatu benda. Yang dapat kita amati hanyalah gejala atau penampakan benda tersebut. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa jiwa manusia adalah atom-atom halus. Atom-atom ini digerakkan oleh gambaran-gambaran kecil suatu benda (eidola), dan dengan demikian muncul kesan-kesan inderawi atas benda tersebut.[37] Ia juga membedakan adanya dua pengetahuan, yaitu pengetahuan indera yang keliru dan pengetahuan budi yang benar.
12.  Melissos
Menurut Bertens, Melissos menyatakan bahwa “yang ada selalu ada dan akan tetap ada. Yang ada itu kekal, tidak terbatas, satu dan selalu bergerak, tidak terhingga”. Jika “yang ada” itu terbatas di dalam ruang, maka harus dikatakan bahwa di luar “yang ada” terdapat “yang tidak ada”. Itu berarti “yang tidak ada” memang ada, sehingga premis keabadian “yang ada” menjadi hilang. Karena itu, tidak mungkin “yang ada” itu terbatas dan menurut ruang.[38]
Menurut David Sedley, Melissos mengatakan “yang ada” itu satu, sehingga “yang ada” disebut juga “yang satu”. Argumentasi Melissos adalah jika “yang ada” berjumlah lebih dari satu, maka ia tidak lagi tak terbatas sebab ada batas antara satu dengan lainnya untuk berhubungan. Melissos juga menyatakan bahwa “yang ada” pasti homogen. Jika “yang ada” bersifat heterogen, maka pasti terdapat pluraluitas, sedangkan pluralitas berarti tidak lagi satu. Terakhir, Melissos juga menyatakan bahwa “yang ada” itu tidak berubah. Argumentasi terhadap ini berhubungan dengan sifat abadi. Dari “yang ada”. Bila “yang ada” dapat berubah, maka ada kemungkinan ia tidak abadi. Karena itu, pastilah “yang ada” itu tidak berubah.[39]
13.  Leukippos
Ia adalah orang yang pertama kali mengajarkan tentang atom sebagai benda terkecil. Atom ada selamanya dan tidak berubah. Atom adalah elemen yang tak terbatas dan abadi, terus bergerak, serta memiliki bentuk yang junlahnya tak terbatas. Atom inilah yang membentuk segala sesuatu yang ada. Selain itu, atom-atom tersebut bersifat padat dan penuh.[40]


C.    Perspektif Positivistik tentang Masyarakat


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari ketiganya, yakni tidak mempercayai lagi pada pengetahuan yang berdasar mitos, legenda, kepercayaan dan agama, lalu pengetahuan itu diperoleh melalui proses berpikir dan mengamati serta asal segala sesuatu terdiri dari satu hal yang tunggal.
            Hasil penyelidikan atas pemikiran ketiganya dapat dirangkum dalam tiga pernyataan sebagai berikut: (1) Alam semesta merupakan keseluruhan yang bersatu, maka harus menggunakan satu prinsip saja. (2) Alam semesta dikuasai oleh suatu hukum. Kejadian-kejadian alam tidak terjadi secara kebetulan. (3) Alam semesta merupakan kosmos, yakni dalam bahasa Yunani berarti dunia yang teratur sebagai lawan kata khaos yang berarti dunia yang kecau.


                [1] A. Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 43-44.
                [2] Ibid., hlm. 44-57.
                [3] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010), hlm. 23.
                [4] Ibid., hlm. 24.
                [5] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 21.
                [6] Wadjiz Anwar, Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa Ini, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 42.
[7] Nina, 24.
                [8] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 22.
                [9] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 44.
                [10] Ibid.
[11] Nina, 24-25.
                [12] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 23.
                [13] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 45.
[14] Nina, 29.
                [15] Ibid., hln. 50.
[16] Nina, 26-27.
                [17] Ibid., hlm. 47.
[18] Nina, 27.
                [19] Ibid., hlm. 64.
                [20] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 26.
[21] Nina, 25-26.
[22] Nina, 26.
                [23] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 56.
                [24] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 27-28.
                [25] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 65.
[26] Nina, 27.
[27] Nina, 29-30.
                [28] Ibid., hlm. 67.
                [29] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 24.
[30] Nina, 30.
                [31] Ibid., hlm. 24-25.
                [32] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 69.
                [33] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 29.
                [34] Wadjiz Anwar, Nilai…, hlm. 73.
[35] Nina, 30.
                [36] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hlm. 30.
                [37] Ibid., hlm. 31.
[38] Nina, 28-29.
[39] Nina, 29.
[40] Nina, 30.