BERANDA

Saturday, November 9, 2013

MAKALAH AL QUR'AN HADITS



ILMU TAFSIR DAN PENGEMBANGANNYA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi  Tugas Mata Kuliah :
Al Qur’an Hadits
Dosen Pengampu :
Muhammad Nur Sikin, M.Si






Disusun Oleh:
 Miftahul Aziz (13410062)
Fauzul Murtafi’ah (13410052)
Miftakhul Khasanah (13410051)
F Yusti Binaria (13410050)

PAI B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pembangunan umat Islam bahkan pembangunan seseorang manusia, tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Al Qur’an yang meliputi segala unsur kebahagiaan bagi jenis manusia.  Dengan mudah kita dapat mengetahui, bahwa tidak mungkin beramal dengan ajaran-ajaran Al Qur’an, terkecuali sesudah kita memahami Al Qur’an, mengetahui isinya, prinsip-prinsip yang diatur. Hal ini tidaklah mungkin dicapai, melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjukkan oleh lafadz -lafadz Al Qur’an. Maka untuk dapat menguraikan lafadz-lafadz Al Qur’an yang bersifat global itu perlu adanya upaya dan proses penafsiran Al Qur’an. Karenanyalah, dapat kita tetapkan bahwa tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan derap langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia. Tafsir sebuah hasil dari dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Setiap generasi akan mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain. Begitu pula perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi sebelumnya, serta saling tukar-menukar pengalaman yang di alami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah yang lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa membutuhkan pula. Demikian pula halnya dengan Al Qur’an, ia berkembang mengikuti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi.
Hal itu yang membuat  para peminat studi Al Qur’an khususnya dan umat Islam pada umumnya dituntut untuk selalu cerdas mengembangkan penafsiran Al Qur’an, sebab setiap zaman memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Tiap-tiap generasi melahirkan tafsir-tafsir Al Qur’an yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Agama Islam sendiri. Maka dari itu perlunya untuk mengetahui tentang definisi dan perbedaan tafsir dan ta’wil serta sejarah dari  perkembangan tafsir Al Qur’an.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan perbedaan Tafsir dan Ta’wil?
2.      Apa saja metode-metode  Tafsir Al Qur’an?
3.      Bagaimana pengembangan Tafsir Al Qur’an dari masa ke masa?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Tafsir dan Ta’wil
Tafsir berasal dari akar kata “fas-sa-ra”. Secara bahasa kata “tafsir” bermakna “menjelaskan maksud dari suatu lafadz”, sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah swt :

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.  ( Q S Al Furqon 33 )

Ta’wil berasal dari akar kata “aw-wa-la” dan bermakna “penjelasan dan penafsiran”. Atas dasar itu maka kata “ta’wil” secara bahasa mempunyai makna yang sama dengan kata “tafsir”. Akan tetapi menurut peristilahan syara’, kata ta’wil mempunyai makna khusus, yaitu : Penjelasan yang dimaksud oleh makna, seperti yang terdapat dalam firman Allah swt

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah” (Q.S ‘Ali Imran 7 )[1]
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di antaranya sebagai berikut:
a)      Tafsir lebih umum dari pada ta’wil, tafsir lebih banyak pemakaiannya dalam lafadz-lafadz dan mufrodat, sedang pada ta’wil pemakaiannya pada makna-makna dan susunan kalimat
b)      Tafsir adalah sesuatu yang jelas diterangkan dalam kitabullah atau diterangkan oleh sunnah yang shahih. Sedang ta’wil sesuatu yang diistimbath oleh para ulama.
c)      Tafsir banyak berhubungan dengan riwayah, sedangkan ta’wil berhubungan dengan diroyah.
d)      Tafsir menerangkan makna lafadz, baik makna memaknai “ ash shirath (dengan jalan) “, sedang ta’wil menafsirkan batin lafadz.
e)      Tafsir banyak dipakai pada ayat-ayat muhkam, sedang ta’wil banyak dipakai pada ayat-ayat mutasyabihat.[2]

B.     Metode-metode Tafsir Al Qur’an
v  Tafsir Tahlili
            Tafsir tahlili dalah mengkaji ayat-ayat al-Qur'an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istnbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu ia merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat, hadits-hadits Rasulullah saw dan riwayat dari para sahabat dan tabi'in.
         Para ulama membagi wujud tafsir al-Qur'an dengan metode tahlili ada tujuh macam, yaitu: tafsir bi al-ma'tsur, tafsir bi al ra'yi, tafsir shufi, tafsir fikih, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir 'ilmi dan tafsir adabi.

1.) Tafsir bi al-Ma'tsur
            Penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur'an terhadap maksud ayat al-Qur'an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi al-ma'tsur adalah penafsiran al-Qur'an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Penafsiran al-Qur'an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka dan penafsiran al-Qur'an dengan pendapat para tabi'in. diantara kitab tafsir bi al-ma'tsur adalah kitab: jami' al-Bayan fi tafsir al-Qur'an, karangan Imam Ibnu Jarir al- Thabari.
2. Tafsir bi al-Ra'yi
            Penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menjelaskan ayat al-Qur'an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-ra'yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra'yi dapat dilihat dari kualitas penafsirnya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Jika tidak, maka ditolak penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-ra'yi adalah kitab: Madarik tanzil wa Haqaiq al-ta'wil, karangan al-ustadz Mahmud al-Nasafi.
3. Tafsir Shufi
          Penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawwuf. Diantara kitab tafsir shufi adalah kitab: Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, karangan Imam al-Tusturi.
4. Tafsir Fikih
            Penafsiran ayat al-Qur'an yang dilakukan (tokoh) suatu madzhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fikih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih karangan imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian para ulama mengarang kitab tafsir fikih adalah kitab: "Ahkam al-Qur'an" karangan al-Jasshash.
5. Tafsir Falsafi
            Penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab: Mafatih al-Ghaib yang dikarang al-fakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat keituhan dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika)
6. Tafsir 'Ilmi
            Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur'an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Diantara kitab tafsir 'ilmi adalah kitab: al-Islam Yata'adda, karangan al-'Allamah Wahid al-Din Khan.
7. Tafsir Adabi
         Penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur'an dan kemu'jizatannya, menjelaskam, makna-makna dan saran yang dituju al-Qur'an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaannya terhadap al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia al-Qur'an. Di antara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
v  Tafsir Ijmali
   Tafsir Ijmali yaitu, penafsiran al-Qur'an dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian panjan lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur'an ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan dalam  mushaf  dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan juga orang pertengahan antara keduanya.
            Kadangkala mufassir dengan metode ini menafsirkan al-Qur'an dengan lafadz al-Qur'an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur'an. Kadangkala pada ayat tertentu ia menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulullah atau pendapat ulama yang saleh. Dengan cara demikian, dapatlah dieroleh pengetahuan yang sempurna dan sampailah ia kepada tujuan dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
v  Tafsir Muqaran
           Metode tafsir muqaran yaitu metode yang ditempuh seseorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur'an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama’ terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecendrungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an. Kemudian menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara mereka yang menitik beratkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi I'rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecendrungannya kepada bidang balaghah, seperti 'Abd al-Qahhar al-Jurjany dalam kitab tafsirnnya I'jaz al-Qur'an dan Abu Ubaidah Ma'mar ibn al-Mutsanna dalam kitab tafsirnya al-mujaz, di mana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma'any, bayan, badi, baqiqat dan majaz.
            Seorang mufassir dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat para ulma tafsir yang ia temukan, lalu ia harus mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran ya tidak dapat diterima rasionya, serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.
v   Tafsir Maudhu'i
            Metode tafsir maudhu'i (tematik) yaitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang suatu masalah/ tema (maudlu) serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur'an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya.
            Kemudian ia menentukan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat itu turun karena sebab tertentu), menguraikan dengan sempurna menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistimbathkan darinya, segi I'rabnya, unsur-unsur balaghahny, segi-segi i'jaznya (kemu'jizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur'an itu dan oleh karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain.[3]

C. Pengembangan Tafsir Al Qur’an
Tafsir pada masa Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
واعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
 الاان القوة الرمى
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.[4]
Allah memberikan jaminan kepada Rasul Nya bahwa ia akan memelihara Qur’an dan menjelaskannya:
  PX إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ PW   فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ PV  ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ 
 “sesungguhnya atas tanggungan kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.” (al Qiyamah [75]:17-19)
Nabi memahami Qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“dan kami turunkan kepadamu adz dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan” ( an Nahl [16]: 44)[5]
Tafsir pada masa Sahabat
para sahabat juga memahami Qur’an karena Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn khaldun dalam Muqaddimah nya menjelaskan: “Qur’an diturunkan dalam bahasa arab dan menurut uslub-uslub balagahnya.karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya.” Namun mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seorang di antara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.
Para sahabat dalam menafsirkan Qur’an pada masa ini berpegang pada:
1)      Qur’anul Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayatdatang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya.
2)    Nabi Muhammad saw, mengingatkan beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat.
3)      Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar.
 Tafsir pada Masa Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat yang banyak dikenal dalam bidang tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereeka pun terkenal di bidang tafsir.
Menurut Ustdz Muhammad Husain az-Zahabi para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada:
·         Apa yang ada dalam Qur’an itu sendiri
·         Keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah
·         Penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri
·         Keterangan yang diterima tabi’in dari Ahli Kitab yang bersuber dari isi kitab mereka
·         Ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka
Jadi  para tabi’in tidak menukil semua ayat dari tafsir Rasulullah dan para sahabat.Mereka hanya mempelajari bagian- bagian yang sulit dipahami oleh orang-orang yang sesama dengan mereka.Kemudin kesulitan itu semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat.Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini.Karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut.
Contoh berbagai mazhab dan perguruan tafsir pada masa tabi’in:
·         Di Mekah:perguruan Ibn Abbas muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah.
·         Di Madinah: dikenal Ubai bin Ka’b yang memiliki murid tabi’in terkenal antaranya, Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.
·         Di Irak : perguruan Ibn Mas’ud (disebut sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y ).Tabi’in yang terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hazani,’Amir asy-Sya’bi, Hasan al- Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Dari hasil tafsir para tabi’in tersebut, terdapat perbedaan antara para ulama yaitu, jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikit pun dari Rasulullah atau para sahabat, maka tafsir tersebut tida harus dijadikan pegangan.Tetapi diantara pendapat para ulama tersebut ada pendapat yang kuat yaitu,jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat,maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
Ibnu Taimiyah pun berkata :
Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya berpendapat ,”pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maksudnya, pendapat-pendapat tersebut tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepaketan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan sendiri (tabi’in) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian,persoalannya dikembalikan kepada bahasa Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
  Tafsir pada Masa Pembukuan
Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah. Pada masa ini tafsir hanya merupakan salah satu bab karena yang diprioritaskan adalah hadis yang dibukukan. Dan penulisan tafsir pun belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir Qur’an, surah demi surah dan ayat demi ayat, dari awal Qu’an sampai akhir.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat atau tabi’in sangat besar . Tokoh terkemuka dalam didang tafsir Al-Qu’an ini adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), Rauh bin ‘Ubadah al-Basri (w. 205 H), Abborrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan ‘Abd bin Humaid (w. 249 H).
Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadis. Sehingga Qur’an ditafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Tokoh yang berperan pada masa ini adalah Ibn Majjah (w. 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H), Abu Bakar bin al- Munzir an-Naisaburi (w. 318 H ), Ibn Abi Hatim (w. 327 H ), Abusy Syikh bin Hibban (w. 369 H ),al-Hakim (w. 405 H ), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H ).
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disanddarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in-tabi’in, dan terkadang disertai pen-tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata  ( I’rab ), sebagaimana dilakukan Ibn Jarir at-Tabari.
Kemudian muncul sejumlah mufasir yang aktifitasnya tidak lebih dari batas-batas tafsir bil-ma’sur, tetapi dengan meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Karena itu persoalannya menjadi kabur dan riwayat-riwayat yang sahih bercampur dengan yang tidak sahih.
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pembukuan tafsir semakin sempurna, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah “Kalam” semakin berekobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhab masing-masing.
Sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan pengetahuan mengenai hukum agama. Dengan demikian tafsir bir-ra’yi menang atas tafsir bil -ma’sur.
Tafsir tersebut dilakukan sampai lahirnya pola baru dalam tafsir mu’asir  (modern) , di mana sebagian mufasir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer disamping upaya penyingkapan asas-asas kehidupan social, prinsip-prinsip tasryi’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan Qur’an sebagaimana terlihat dalam tafsir al-jawahir, al-manar dan az-zilal.[6]

BAB III
ANALISIS

Berdasarkan pengertian dari ilmu tafsir Al-Quran dan perkembangannya dapat diketahui, bahwasanya di samping terdapat ilmu tafsir juga terdapat ilmu ta’wil. Di dalam ilmu tafsir itu sendiri pun terdapat berbagai macam metode yang memiliki cirri khas tersendiri dan cara penafsiran yang berbeda pula. Sehingga untuk menafsirkan surat demi surat, ayat demi ayat dalam al-Quran dapat dilakukan dengan memilih metode-metode yang telah banyak di gunakan oleh berbagai mufassir tersebut. Dan di dalam berbagai metode itu pula dapat diketahui bahwasanya setiap metode tidak hanya caranya yang berbeda tetapi juga penggunanya.
Dan dalam makalah ini pula dapat kita analisa bahwasanya bukan hanya suatu ilmu pengetahuan umum yang terus berkembang, tetapi juga tafsir-tafsir al-Quran pun selalu berkembang sesuai dengan zamannya. Yaitu dimulai pada masa Rasulullah SAW , yang dalam menafsirkan beliau langsung memberikan penjelasan-penjelasan kepeda para sahabat tanpa menggunakan metode-metode, yang digunakan para mufassir pada saat ini. Kemudian setelah wafatnya Rasulullah para sahabat mulai menggunakan pemahaman dan ijtihad, selain menggunakan Quran dan penjelasan Rasulullah SAW.
Kemudian  penafsiran al-Qur’an diteruskan oleh para tabi’in atau yang disebut juga masa tabi’in. Setelah masa tabi’in terdapat masa pembukuan dan dilakukan lagi pengembangan. Setelah masa pembukuan barulah dikenal masa tafsir modern yang dilakukan oleh para mufassir hingga saat ini. Jadi tidak dapat di sangkal lagi bahwasanya dalam perkembangan zaman ini ilmu tafsir juga selalu berkembang tanpa meninggalkan Qur’an itu sendiri dan penjelasan-penjelasan dari Rasulullah SAW sebagai rujukan selain menggunakan akal dan ijtihad serta rujukan dari tafsir-tafsir terdahulu.

BAB IV
KESIMPULAN

Tafsir berasal dari akar kata “fas-sa-ra”. Secara bahasa kata “tafsir” bermakna “menjelaskan maksud dari suatu lafadzh”,
Ta’wil berasal dari akar kata “aw-wa-la” dan bermakna “penjelasan dan penafsiran”. Maka kata “ta’wil” secara bahasa mempunyai makna yang sama dengan kata “tafsir”. Tetapi menurut peristilahan syara’, kata ta’wil mempunyai makna khusus,
Metode-metode Tafsir Al Qur’an
@ Tafsir Tahlili terdiri dari :
 Tafsir bi al-Ma'tsur
 Tafsir bi al-Ra'yi
 Tafsir Shufi
 Tafsir Fikih
 Tafsir Falsafi
 Tafsir 'Ilmi
 Tafsir Adabi
@ Tafsir Ijmali
@  Tafsir Muqaran
@  Tafsir Maudhu'i
Pengembangan Tafsir Al Qur’an
Ø  Tafsir pada masa Nabi Muhammad saw
Ø  Tafsir pada masa Sahabat
Ø  Tafsir pada Masa Tabi’in
Menurut Ustadz Muhammad Husain az-Zahabi para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada:
       Apa yang ada dalam Qur’an itu sendiri
       Keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah
       Penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri
       Keterangan yang diterima tabi’in dari Ahli Kitab yang bersuber dari isi kitab mereka
       Ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka
Ø  Tafsir pada Masa Pembukuan
·         Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah.
BAB V
PENUTUP
Demikian makalah kami sampaikan, semoga bisa menambah wawasan kita bersama dan bisa bermanfaat buat kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan guna penyempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdady,  Abdurrahman, 1988. Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al Qur’an, PT. Al Ma’arif. Bandung.
Agil Husin al-Munawar, Said, 2003. Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat  press.
Tafsir dan Ilmu tafsir, MGMP Tafsir Yogyakarta.
Muslim, Shohih Muslim, bab fadlurromyi, hds.3541.
al Qattan, Manna’ Khalil, 2013. studi ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor.


[1] Abdurrahman Al Baghdady, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al Qur’an, PT. Al Ma’arif, (Bandung: 1988).
[2] -Said Agil Husin al-Munawar,  Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat  press. 2003).

[3]  Tafsir dan Ilmu tafsir, MGMP Tafsir Yogyakarta
[4] Muslim, Shohih Muslim, bab fadlurromyi, hds.3541.
[5] Manna’ Khalil al Qattan, studi ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa. (Bogor: 2013)
[6] Manna’ Khalil al Qattan, studi ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa. (Bogor: 2013)
 

No comments:

Post a Comment