BERANDA

Thursday, September 28, 2017

AMSALUL QUR'AN

Nama  : Fauzul Murtafi’ah
Kelas   : Ulya D
AMSALUL QUR’AN
A.      Defiinisi Amsal
Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafaz maupun maknanya.
Dalam sastra masal adalah suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.
Ibnul Qayyim mendefinisikan amsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”[1]
B.      Macam-macam Amsal dalam Qur’an
1.       Amsal musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Firman Allah mengenai orang munafik.
b.       Allah menyebutkan pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra’d, bagi yang hak dan yang bathil.
2.       Amsal kamimah, yaitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, di antaranya:
a.       Ayat-ayat yang senada dengan perkataan (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
o    Firman Allah mengenai sapi betina:
“Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu...”(al-Baqarah[2] : 68),
o    Firman-Nya tentang nafkah:
“Dan mereka yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (al-Furqan[25] : 67),
o    Firman-Nya tentang salat:
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu” (al-Isra’[17] :10),
b.       Ayat yang senada dengan perkataan (kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri.Misalnya firman Allah tentang Ibrahim.
c.        Ayat yang senada dengan perkataan (sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar).
d.       Ayat yang senada dengan perkataan (Orang mukmin tidak akan disengat dua kalidari lubang yang sama).
3.       Amsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
Berikut contoh-contohnya:
a.       “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu” (Yusuf [12] : 51)
b.       “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah” (an-Najm [53] :58)
c.        “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)” (Yusuf [12]: 41)[2]
C.      Faedah-faedah Amsal
1.       Menonjolkan suatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau akal. Abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman.
2.       Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
3.       Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat.
4.       Mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan suatu yang disenangi jiwa.
5.       Menjauhkan (tanfir), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa.
6.       Untuk memuji orang yang diberi masal.
7.       Untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
8.       Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.[3]
D.      Membuat Masal dengan Qur’an
Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai peggunaan ayat-ayat Qur’an sebagai masal. Mereka tidak  memandang bahwa perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amsal dalam kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.[4]




[1]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, ( Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Semua, 2013) hlm. 401-403.
[2] Ibid, hlm. 404-409.
[3] Ibid, hlm. 409-411.
[4] Ibid, hlm.411-412.

No comments:

Post a Comment